Oleh Hang Kafrawi
Tidak dapat dielak, perkembangan teknologi komunikasi melahirkan kebiasaan baru bagi manusia di muka bumi ini. Tentu saja kebiasaan baru ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya tidak ada sekat pusat dan luar pusat. Setiap manusia memiliki hak yang sama menyampaikan informasi dan berkreasi dengan memanfaatkan teknologi secara terbuka. Sedangkan dampak negatifnya manusia “terperangkap” keegoan individual; lebih nyaman berbicara melalui perangkat teknologi dibandingkan bertatap muka dan hal ini mengerus nilai-nilai kebersamaan sebagai manusia. Dampak negatif akan lebih parah apabila masyarakat hanya menerima dan menjadi masyarakat konsumtif tanpa menyaring informasi yang mereka dapatkan.
Kekhawatiran dampak negatif ini selalu mengarah kepada generasi muda atau generasi Z. Hal ini bukan tanpa alasan, generasi Z terlahir dalam era teknologi komunikasi yang sedang menjadi-jadinya. Dari usia dini generasi Z sudah disuguhkan komunikasi yang berhubungan dengan kecangihan teknologi. Jean Twenge seorang pakar Psikolog Sosial menjelaskan bahwa generasi yang terbiasa dengan teknologi digital mengalami perubahan pola pikir generasi sangat signifikan. Twenge menyebutkan generasi ini drastis menghabiskan waktu dengan perangkat digital, sehingga interaksi tatap muka berkurang, memengaruhi perkembangan sosial dan emosional. Dampaknya kebiasaan bermain dan belajar bergeser dari aktivitas fisik ke aktivitas berbasis layar dan genarasi ini rentan kecemasan, depresi akibat tekanan media sosial.
Tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada langkah-langkah konkret, sehingga generasi bangsa ini terselamatkan dari kehilangan identitas. Salah satu cara menghimpun generasi muda untuk bertahan dan sekaligus berkreasi “membongkar” keberadaan diri yaitu dengan seni teater. Seni teater merupakan cabang seni yang memiliki segala unsur seni; seni musik, seni tari, seni rupa, dan seni sastra. Fokus utama seni teater adalah pada aktor. Seorang aktor harus memiliki kemampuan berpikir tajam untuk mengolah kata-kata menjadi kenyataan atau peristiwa yang benar-benar ia miliki. Selain ketajaman pikiran, seorang aktor juga dituntut memiliki kepekaan dan kecerdasan emosi, sehingga ketika menjadi tokoh yang diperankannya tokoh itu adalajh dirinya yang sesungguhnya.
Selain kekuatan individu, seorang aktor yang baik harus pula memiliki kepekaan bersama dengan aktor-aktor yang lain dalam menggelarkan cerita. Elemen-elemen individu aktor menjadi lebur dalam kolektivitas untuk membangun suatu cerita, sehingga peristiwa cerita yang disuguhkan bukan milik seorang aktor melainkan milik seluruh aktor. Aktor-aktor yang baik adalah mereka sadar bahwa cerita yang mereka mainkan bukan milik mereka saja, tapi juga milik penonton. Penonton harus dapat masuk dalam peristiwa cerita dengan kekuatan aktor dan pendukung pementasan, sehingga penonton tercerahkan.
Untuk menghasilkan pergelaran menarik ini, maka tidak dapat tidak seorang calon aktor harus mengikuti proses latihan yang ketat dan serius. Dalam propses latihan inilah segala kemampuan diri calon aktor harus dikeluarkan atau dieksplorasi habis-habisan. Seorang calon aktor harus sadar akan kekuatan dirinya, baik itu gerak tubuh, respon, rasa, dan juga kekuatan vokal. Disinilah eksistensi calon aktor dipompa sehingga menjadi kepercayaan tinggi untuk menjadi seorang aktor yang handal berdiri di depan orang banyak.
Proses latihan teater inilah menjadi wadah bagi generasi muda untuk memperlihatkan keberadaan dirinya. Dengan melalui proses latihan menjadi aktor, generasi muda dilatih mengenal diri mereka lebih dalam. Ketika seseorang telah mengenal dirinya maka ia akan mengenal alam semesta dengan berbagai karenahnya, termasuk peristiwa yang dibawa oleh perkembangan zaman. Untuk generasi Z yang diidentikkan dengan kaum rebahan atau kaum individualistik yang tinggi proses latihan teater ini menjadi penting untuk menghasilkan generasi yang memilki simpati terhadap sesama, masyarakat, dan juga peristiwa yang terjadi di lingkungan mereka.
Tentu saja, untuk menghasilkan pergelaran teater yang menarik tidak saja dibebankan kepada aktornya. Sebagai seni yang kompleks, pergelaran teater harus didukung penata artistik, penata musik, penata kostum, penata cahaya (kalau mentas malam), dan juga tim produksi yang solid. Semua pendukung pergelaran teater menjadi tim kerja yang saling mengisi, saling percaya, dan menghargai, maka terbentuklah komunitas yang kuat bagi generasi Z ini.
Apa yang dilakukan Balai Bahasa Provinsi Riau dengan kegiatan Krida Duta Bahasa “Drama Berbahasa Daerah” tanggal 22-23 Oktober 2024 dan dilanjutkan pada tanggal 5-6 November 2024 di Kabupaten Kuantan Sengingi (kuansing) sangatlah tepat menjadikan murid SLTA peserta kegiatan ini. Di tenggah gempuran globalisasi melalui teknologi komunikasi yang canggih akan mempergaruhi generasi muda memahami bahasa dan budaya, bahkan boleh jadi generasi muda negeri ini dikuasi bahasa dan budaya asing. Ketakutan tergurusnya bahasa dan budaya daerah diperlukan langkah-langkah dengan kegiatan menggali potensi lokalitas, yaitu bahasa yang akan memperkuat budaya tempatan.
Hasil pengamatan, dari 10 peserta yang berasal dari 10 sekolah di Kuansing, terlihat penggalian bahasa daerah serta diikuti pendalaman nilai-nilai budaya dalam pergelaran mereka. Bahasa Melayu dialek Kuansing menjadi kekuatan mengukuh cerita-cerita yang dibawakan dari peristiwa Pacu Jalur, Randai, cerita daerah, harapan melanjutkan pendidikan, sampai peristiwa membentengi diri dari pengaruh budaya asing, begitu terasa nyata dihadapi oleh masyarakat Kuansing. Selain sebagai sosialisasi penggunaan bahasa daerah, kegiatan yang menjulang teater sebagai wadah ekspresi generasi muda ini, memperkuat sikap generasi muda mencintai bahas dan sekaligus budaya mereka di tengah gempuran teknologi komunikasi ini. Walaupun belum sempurna sebagai pergelaran teater yang baik, paling tidak perhelatan ini merupakan upaya memberi laluan dan juga pemahaman generasi muda Kuansing menggali bahasa dan sekaligus budaya mereka.
Dari kegiatan ini tidaksalahlah padangan yang mengatakan bahwa “bahasa melambangkan bangsa”. Dapat dilihat dari pergelaran yang disuguhkan oleh 10 peserta kekuatan bahasa bukan saja alat komunikasi, lebih dari itu bahasa juga memcerminkan nilai-nilai, kebiasaan, tradisi, pola pikir, dan cara hidup suatu masyarakat. Pada pergelaran yang ditampilkan generasi muda Kuansing ini tergampar ekpresi nilai dan norma, tradisi dan filosofi hidup, pengetahuan lokal, identitas sosial, dan bahkan evolusi budaya.
Pengukuhan dari perhelatan dengan teater sebagai wadahnya ini, memang perlu dilanjutkan oleh masing-masing komunitas atau sekolah yang menjadi pesertanya. Untuk mendapatkan hasil maksimal menjulang bahasa daerah lewat teater, dapat dilakukan pergelaran rutin 1 bulan sekali bekerja sama antar sekolah di Kuansing. Dan apabila dimunkinkan, Dinas Pendidikan atau pun Dinas Kebudayaan dapat menjadi fasilitator menggelar “arisan” teater SLTA se-Kuansing dengan menggilirkan sekolah menjadi tuan rumah penyelengara pergelaran teater berbahasa daerah. Tidak ada yang tidak mungkin kalau kita menyadari bahwa generasi muda harus diselamatkan dari pengaruh asing dengan “membentengi” mereka dengan berbagai kekegiatan menjulang bahasa dan budaya tempatan. Mudah-mudahan terwujud.
Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi dosen Program Studi Sastra Indonesia, FIB, UNILAK