Hang Kafrawi
Puisi bukanlah alat perjuangan. Ia bukan sekadar manifestasi kekecewaan sosial, bukan sekadar protes atau rengekan moral manusia yang mengutuki dunia. Puisi adalah ledakan liar, liar seperti hujan api yang turun dari langit tanpa aba-aba, membakar tanah tanpa niat untuk mengubah apa pun. Namun, puisi juga adalah cermin retak yang diam-diam menelanjangi kenyataan. Ia menggigit daging realitas dengan taringnya yang tajam, memuntahkan kata-kata yang terlalu panas untuk ditelan begitu saja. Ia melihat luka-luka sosial, tetapi tidak selalu ingin menyembuhkannya, kadang, ia hanya ingin menggoreskan kuku di atasnya, agar darahnya mengalir dan dunia terpaksa melihat.
Puisi tidak bisa dijual di bursa saham. Puisi tidak bisa dipakai untuk membeli apartemen mewah. Puisi tidak bisa mengenyangkan perut yang lapar dalam pasar yang menuntut efisiensi dan angka. Dan karena itu, puisi ditinggalkan. Dibuang seperti sampah, seakan ia hanya ocehan orang-orang yang gagal bersaing dalam hiruk-pikuk kapitalisme.
Orang-orang lebih memilih emas daripada kata-kata. Mereka lebih mencintai angka-angka di rekening daripada bait-bait yang bisa menggetarkan jiwa. Mereka lebih memilih kontrak dan komoditas daripada metafora dan rima yang tak bisa ditukar dengan apapun.
Mereka tak butuh puisi, karena puisi tak bisa dibangun menjadi gedung pencakar langit. Mereka tak butuh puisi, karena puisi tak bisa dijadikan saham yang naik turun di layar monitor. Mereka tak butuh puisi, karena puisi terlalu jujur, terlalu gila, terlalu suci untuk dunia yang hanya mengukur segalanya dengan harga. Tetapi mereka lupa satu hal; ketika dunia runtuh, ketika angka-angka kehilangan makna, ketika gemerlap materi tak lagi bisa mengisi kekosongan batin, manusia kembali mencari sesuatu yang lebih dalam.
Puisi adalah jalan sunyi yang mengantarkan manusia kepada dirinya sendiri. Di dalam bait-baitnya, ada ruang untuk kesadaran yang lebih tinggi, ada celah untuk melihat dunia di luar batas daging dan tulang. Puisi adalah mantra yang memanggil roh kehidupan, membimbing kita keluar dari kepalsuan dan membentangkan realitas sejati yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Puisi adalah air yang menetes ke jiwa yang kering. Ia memberi kita alasan untuk merenung, untuk mempertanyakan, untuk mencari sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas kosong. Puisi bukan hanya tentang kata-kata, tetapi tentang perjalanan spiritual yang tak bisa dibeli, tak bisa dimiliki, hanya bisa dirasakan oleh mereka yang berani tenggelam ke dalamnya.
Anak muda. Jangan biarkan dunia ini menghisap jiwamu dengan ilusi sukses palsu! Jangan biarkan dirimu menjadi budak dari gaji, cicilan, dan perbudakan modern yang menghapus imajinasi! Jangan biarkan sistem ini mengajari kalian bahwa kebahagiaan hanya bisa dibeli! Bacalah puisi dengan mata terbuka lebar, resapi tiap kata seperti sihir yang membebaskanmu dari rantai kebosanan dan kepalsuan!
Tulis puisi seperti orang kesetanan, biarkan kata-kata berlari liar di otakmu, biarkan dunia terbakar oleh imajinasi yang tak bisa dihentikan oleh pasar dan kekuasaan! Hiduplah seperti puisi yang tidak tunduk pada siapa pun! Bersikaplah seperti puisi yang menolak diperbudak oleh doktrin ketamakan! Jadilah generasi yang mengukir revolusi bukan dengan senjata, tapi dengan kata-kata yang tak bisa dihancurkan oleh waktu! Tersebab dunia akan selalu mencoba menjerumuskan kalian ke dalam keserakahan dan kehampaan, tetapi puisi adalah jalan pelarian, jalan perlawanan, jalan menuju makna hidup yang sebenarnya!
Kadang puisi melawan. Kadang puisi mengutuk. Kadang puisi menguliti wajah hipokrisi dengan bahasa yang bahkan tidak bisa mereka pahami. Namun, puisi tidak bisa dikurung dalam kandang isu sosial saja. Ia lebih besar dari sekadar alat, lebih buas dari sekadar propaganda. Ia ada untuk membakar, mencipta, menghancurkan, dan menghidupkan kembali dengan caranya sendiri.
Jangan paksa puisi untuk menjadi pahlawan atau pengkhotbah. Jangan tundukkan ia di bawah hukum atau harapan. Biarkan ia membusuk jika perlu, biarkan ia tumbuh menjadi jamur di ruang-ruang gelap pikiran. Biarkan ia menjadi sesuatu yang bahkan penciptanya sendiri tak bisa kendalikan.
Karena puisi bukan untuk menjawab, ia ada untuk meledakkan pertanyaan. Karena puisi bukan sekadar kata-kata, ia adalah pintu menuju makna hidup yang sebenarnya. Dan kalian, anak muda, bacalah puisi, tulislah puisi, hiduplah seperti puisi! Jadilah gila dengan puisi, sebelum dunia ini membuatmu gila dengan kerakusan mereka.