Fenomena Dedi Mulyadi Menjulang Budaya

Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat

Oleh Hang Kafrawi

Kita seakan kehilangan harapan yang selama ini melihat kemegahan dan berjaraknya pemimpin dari rakyatnya. Kita pun menjadi geram dengan politik yang menebar janji, kemudian menjelma sebagai kebohongan-kebohongan yang tak pernah tuntas. Kita putus kepastian, kita menjadi rakyat kehilangan selera untuk bermimpi.  Di tengah riuh rendah panggung politik yang sering kali memamerkan kuasa dan kemewahan inilah, ada satu nama yang hadir bagai angin pagi yang lembut menyapa kita, ia adalah Dedi Mulyadi. Ia datang bukan dengan teriakan janji, tapi dengan langkah-langkah pasti yang menyapa manusia. Ia tidak sekadar berbicara, tapi mendengarkan. Tidak hanya tampil, tapi hadir. Dari kehadirannya yang tulus itulah, Dedi Mulyadi menjelma menjadi lebih dari sekadar politisi, ia adalah wajah dari kerinduan rakyat terhadap manusia yang memimpin dengan hati.

Di tengah gegap gempita dunia politik yang kerap menjual janji seperti menjual gula kepada semut, Dedi Mulyadi hadir menyapa persoalan akar rumput, menghidupkan harapan dan memancarkan semangat. Ia terus berbuat, walau cemeehan sering bermunculan dari tiap langkahnya, namun ia menghasilkan bunyi bahagia dan tawa rakyatnya. Dedi Mulyadi bukan sekadar politikus, ia seperti angin yang datang tanpa dipanggil, membawa sejuk ke hati yang gersang. Ia mendapat sorak dan penyambung rasa rakyat yang selama ini terabaikan.

Dalam adat Melayu, pemimpin bukan hanya ditimbang dari kuasa dan gelar, tetapi dari timbang rasa dan akal budi. Dedi Mulyadi berjalan di jalan itu. Ia bukan duduk di kursi tinggi lalu memandang ke bawah, melainkan langsung turun, menyinsing lengan, dan memegang tangan rakyat yang hampir tenggelam. Seperti kata orang tua-tua Melayu “jangan jadi lilin di tengah hari, tak memberi terang, habis pula terbakar.” Dedi tidak sekadar tampil, ia menjadi terang bagi yang terabaikan.

Dedi Mulyadi melapah pandangan yang selama ini melekat pada pejabat berpakaian necis, dibentangi “karpet merah”. Ia turun ke akar rumput dengan identitas dirinya sebagai orang Sunda yang ramah. Ia bertutur dalam bahasa ibunya, dan memuliakan kearifan lokal. Ia tak malu menjadi orang kampung. Baginya, “biar berkain buruk, asal hati bersih.” Budaya tidak dijadikan alat pamer, tapi dijunjung sebagai jalan pulang ke jati diri. Di saat banyak pemimpin kehilangan akar, Dedi Mulyadi justru menanamnya lebih dalam. Ia menjelma dengan pernak-pernik budaya yang menyentuh relung hati rakyatnya. Dedi Mulyadi menyadari betul bahwa sebagai pimpinan yang dipilih oleh orang banyak harus mampu berbuat untuk orang banyak. Dengan kekuatan dukungan dari rakyatnya dari hasil kerja hati nuraninya, ia semakin dicintai. Semangat berbuat untuk rakyat inilah ia berhasil menyatukan rakyat Jabar, maka seperti peribahasa: “sebatang lidi takkan mampu menyapu halaman, tapi segenggam lidi yang terikat bisa membersihkan halaman yang kotor.” Dedi mengikat hati rakyat dengan budaya, menyapu luka mereka dengan nilai.

Benar, ia hadir di media sosial. Tapi bukan untuk sekadar “berselfie dengan penderitaan”. Ia menunjukkan bahwa kamera bisa jadi saksi bukan hanya bagi pencitraan, tapi juga bagi cinta. Ia membela yang tertindas, menghibur yang tak bersuara, mengangkat yang hampir rebah. Ia tahu, “orang yang ringan tangan akan lebih dikenang daripada orang yang ringan mulut.” Ia terus bergerak dengan kerjanya menyatu bersama rakyat, walaupun terpaan wacana-wacana negatif bermunculan, namun tak menyurutkan langkah Dedi Mulyadi membela rakyat kecil “membujur lalu, melintang patah.” Tak jarang pula ia dihina, dicurigai, dianggap berlebihan, tapi ia terus melangkah. Seperti kata Melayu lama “ikan di laut, asam di darat, dalam belanga bertemu juga” yang jujur akan bertemu dengan takdir yang adil dan cinta rakyatnya semakin membara.

Dedi Mulyadi seperti durian runtuh yang tak disangka oleh banyak orang. Ia datang dari bawah, bukan dari silsilah, bukan dari kongsi elit. Hal ini menyebabkan ia sulit dijinakkan. Ia berdiri di jalannya sendiri, dan itu membuat banyak penguasa gelisah. Rakyat kecil sepakat “walau hujan batu di negeri sendiri, lebih baik dari hujan emas di negeri orang.” Mereka rela ikut susah asal pemimpinnya punya marwah. Dedi Mulyadi tak gila kuasa. Ia bukan orang yang “menjunjung labu tak bertangkai” mengharap sesuatu yang tak pasti. Ia bukan haus jabatan, tapi jika jabatan itu datang, ia tahu itu amanah, bukan alat menindas.

Seorang pemimpin sejati, dalam pandangan Melayu, bukan orang yang hanya bersuara saat keadaan tenang. Tapi orang yang menjadi payung saat hujan deras, dan tetap berdiri saat yang lain lari berteduh. Dedi memilih jalan sunyi itu. Jalan yang tidak ramai sorak, tapi ramai berkah. Ia berjalan seperti air sungai yang tenang, mengalir pelan tapi pasti, menyuburkan setiap tanah yang dilaluinya, dan karena itu, rakyat mencintainya bukan karena terpaksa, tapi karena rasa.

Barangkali kita tak semua bisa jadi Dedi Mulyadi, tapi seperti kata orang tua-tua kita “kalau tak dapat jadi bulan di langit, jadilah lilin di kamar”. Kita bisa memulai dari hal kecil, membantu sesama, membela yang lemah, menjaga budaya, dan menanam budi. Dedi Mulyadi seperti air menghilangkan dahaga yang selama ini kehausan sosok pemimpin sejati. Dalam sosok Dedi Mulyadi, kita melihat harapan yang belum padam. Bahwa politik bukan hanya soal menang dan kalah, tapi soal benar dan salah. Bahwa pemimpin bukan orang yang paling tinggi pangkatnya, tapi yang paling dalam cintanya kepada rakyatnya. Selama masih ada orang seperti Dedi Mulyadi, kita percaya, negeri ini belum sepenuhnya sesat arah.

Apa yang dilakukan Dedi Mulyadi menjadi energi semangat bagi pemimpin-pemimpin lainnya untuk membangun bangsa ini. Bangsa ini sangat hebat dan memiliki modal besar menjadi terdepan. Kita memiliki nilai-nilai budaya yang menjunjung dan memuliakan kemanusiaan. Tidak ada kata tidak bisa, tersebab kita terlahir dari rahim kebudayaan yang menjulam keselarasan untuk kesejahteraan masyarakat, dan Dedi Mulyadi telah membuktikan itu.

Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi dosen Program Studi Sastra Indonesia, FIB Universitas Lancang Kuning, Riau.

Pos terkait