Menu

Mode Gelap
Prakiraan Cuaca Kamis, 30 Oktober 2025: Waspada Hujan Singkat dan Suhu Panas di Kepulauan Riau Minta Porprov XI Ditunda, Bupati Afni: Tak Mungkin Rakyat Siak Menanggung Utang Lagi Bupati Siak Minta ASN Hemat Listrik, Biaya Capai Rp70 Miliar per Tahun Pemko Tanjungpinang Dorong Efisiensi Birokrasi Lewat Penataan Struktur Perangkat Daerah Perkuat Diplomasi Ekonomi, Gubernur Ansar Dorong Investasi dan Bebas Visa Tiongkok–Kepri Media BI Nilai Konsep DIR Penuh Kebijakan

Batam

Akademisi: UWTO Membuat Batam Tak Lagi Kompetitif Dibanding Singapura dan Johor

badge-check


					Rikson Tampubolon, Akademisi sekaligus Direktur Eksekutif Batam Labor and Public Policy (BALAPI). Perbesar

Rikson Tampubolon, Akademisi sekaligus Direktur Eksekutif Batam Labor and Public Policy (BALAPI).

RiauKepri.com, BATAM – Perbedaan sistem pungutan antara Batam dan daerah lain di Indonesia dinilai menciptakan distorsi iklim investasi.

Jika di kota-kota lain pelaku usaha hanya dibebani Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), di Batam mereka masih harus menanggung tambahan biaya berupa Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) atau sewa lahan kepada BP Batam.

Akademisi sekaligus Direktur Eksekutif Batam Labor and Public Policy (BALAPI), Rikson Tampubolon, menyebut kebijakan ini menjadi beban ganda bagi pelaku usaha.

“Di daerah lain cukup membayar PBB sebagai kewajiban fiskal. Tetapi di Batam, pengusaha harus menanggung UWTO sekaligus PBB. Ini jelas kontraproduktif dan mengurangi daya saing Batam,” ujarnya pada Jumat (5/9/2025) pagi.

Menurut Rikson, secara historis UWTO lahir dari status Batam sebagai kawasan khusus dengan pengelolaan lahan oleh BP Batam. Namun dalam praktiknya, pungutan ini dipandang sebagai “double burden” yang memberatkan dan membingungkan dunia usaha.

“Alih-alih memberikan kemudahan, investor justru terbebani dengan biaya tambahan yang tidak ada presedennya di wilayah lain. Padahal tujuan awal Batam adalah menyediakan lahan murah dan ramah investasi,” tegasnya.

Rikson menilai dampak kebijakan ganda tersebut sangat terasa terhadap daya tarik Batam sebagai kawasan strategis. Investor cenderung membandingkan struktur biaya di Batam dengan wilayah lain seperti Singapura dan Johor.

Bila biaya lahan di Batam lebih tinggi tanpa jaminan kepastian hukum maupun infrastruktur memadai, investor bisa beralih ke lokasi lain.

“Keunggulan kompetitif Batam sebagai kawasan perdagangan bebas (FTZ) bisa terkikis. Karena itu, sudah saatnya ada reformasi kebijakan lahan di Batam,” kata Rikson.

Ia mengusulkan agar pemerintah menghapus UWTO bagi usaha kecil, menengah, dan hunian sederhana, atau minimal merasionalisasi tarif bagi pelaku usaha strategis.

“Dengan begitu, biaya operasional bisa lebih kompetitif dan cita-cita menjadikan Batam sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kawasan dapat terwujud tanpa membebani masyarakat maupun dunia usaha,” pungkasnya.(Red)

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Polri dan SKK Migas Perkuat Koordinasi Tangani Kasus Kebakaran PT ASL Batam: Fokus pada Profesionalisme dan Keselamatan Kerja

29 Oktober 2025 - 14:42 WIB

Seminar Jurnalisme Dakwah: PWI Kepri dan STIQ Kepri Satukan Misi Dakwah dan Media

28 Oktober 2025 - 20:42 WIB

DPRD Terima Penghargaan Tribun Batam Awards 2025, Kamaluddin: Apresiasi Atas Kerja Kolektif 50 Anggota Dewan

28 Oktober 2025 - 16:41 WIB

Wakil Ketua II DPRD Kota Batam Hadiri Lepas Sambut Danyonif 136/Tuah Sakti

28 Oktober 2025 - 16:33 WIB

Gelar RDP Marathon, Komisi II DPRD Batam Bahas Ranperda APBD 2026 dengan OPD Penghasil

28 Oktober 2025 - 06:13 WIB

Trending di Batam