RiauKepri.com, KAMPAR- Pada senja yang seharusnya tenang di Desa Sendayan, Kecamatan Kampar Utara, Kabupaten Kampar, Riau, suara gaduh alih-alih mengguncang sebuah warung kecil di tepi jalan. Di sanalah, dua beradik kandung terlibat pertikaian sengit. Tak sampai satu jam kemudian, satu di antaranya terbaring kaku bersimbah darah.
Risman Riyanto (43 tahun), tewas di tempat. Abangnya, Ahmad Kholis (49 tahun), selamat namun penuh luka. Di antara keduanya berdiri selembar surat tanah warisan, yang tak pernah berhasil mereka sepakati.
“Cuma gara-gara tanah,” kata seorang warga yang enggan disebut namanya, masih terpukul oleh kejadian Jumat malam itu, 3 Oktober 2025.
Menurut Kepolisian Resor Kampar, duel maut itu bermula dari sebuah permintaan tanda tangan. Risman datang ke warung Ahmad membawa surat tanah, meminta pengesahan sang abang atas sempadan lahan warisan orangtua mereka. Ahmad keberatan, bukan soal pembagian, tapi soal akurasi sempadan, seharusnya dibuat berdasarkan batas tanah, bukan parit.
Namun ketegangan dengan cepat melonjak. Risman disebut marah, mendesak agar surat segera ditandatangani tanpa banyak debat. Kata polisi, dia lalu mencabut pisau dari pinggangnya dan menikam Ahmad di perut, kepala, dan lengan.
Terluka dan tersudut, Ahmad kabur ke dalam warung. Ia kembali dengan sebuah parang dan martil. Pertarungan pun meledak.
“Saya lari, dia kejar. Saya ambil parang, saya membela diri,” ujar Ahmad Kholis dengan suara serak kepada wartawan, Sabtu malam. Matanya kosong. “Saya menyesal.”
Penyesalan itu datang terlambat. Sang adik, satu-satunya saudara laki-lakinya, telah terbujur kaku dengan luka menganga. Masyarakat geger. Polisi datang. Keluarga sempat menolak visum. Jenazah tak diizinkan dibawa ke Pekanbaru. Butuh peran ninik mamak dan Ketua RW untuk menengahi.
Akhirnya, Risman dibawa ke RSUD Bangkinang untuk visum. Tanpa otopsi. Keluarga menandatangani surat pernyataan tak akan menuntut di kemudian hari. Ahmad Kholis dibawa ke rumah sakit yang sama untuk perawatan, sebelum akhirnya dijebloskan ke tahanan Polsek Kampar.
“Pelaku dikenakan Pasal 338 juncto Pasal 351 ayat 3 KUHP. Ancaman hukumannya 15 tahun penjara,” kata Kasatreskrim Polres Kampar, AKP Gian Wiatma Jonimandala.
Kasus ini mencerminkan tragedi yang berakar dalam, warisan yang mestinya menjadi pengikat keluarga, justru berubah menjadi pemicu petaka. Bukan kali pertama perkara tanah membelah keluarga di kampung-kampung Riau, Sumatera Barat, maupun wilayah lain di Nusantara.
“Sebagian besar kasus kekerasan dalam keluarga itu ya karena tanah. Apalagi kalau sudah masuk generasi kedua, ketiga,” ujar seorang tokoh adat Kampar yang tak ingin disebut namanya.
Dalam penyelidikan, polisi menyita parang gagang biru yang patah di ujung, martil, kayu broti, serta pisau gagang kayu berlumuran darah. Semuanya dibuang sembarangan oleh pelaku setelah perkelahian. “Kami juga mengamankan SKGR atas nama korban, ponsel, pakaian, dan sandal,” kata Kapolsek Kampar, AKP Asdisyah Mursyid.
Kini, di Desa Sendayan, dua rumah terpisah oleh jarak lebih dari sekadar garis sempadan. Satu sunyi karena pemiliknya sudah pergi untuk selamanya. Satu lagi tertutup rapat, menanti proses hukum yang akan menanti pemiliknya di balik jeruji besi.
“Mestinya bisa dibicarakan baik-baik. Tapi siapa yang bisa menahan emosi, kalau hati sudah panas?,” kata Nurman, saksi mata yang sempat berusaha melerai.
Kisah Ahmad dan Risman adalah pelajaran pahit tentang betapa rapuhnya ikatan darah ketika diuji oleh sepetak tanah. Pertengkaran antar saudara tak lagi sebatas saling diam atau saling sindir. Kini, nyawa menjadi taruhannya.
Warisan yang seharusnya dikenang sebagai peninggalan orangtua, malah menjadi warisan luka yang tak akan sembuh. (RK1/*)