Menu

Mode Gelap
Gara-gara Tak Mau Diperintah yang Berbau Korupsi, Kepala UPTD BPTIK Copot PPTK Pemko Tanjungpinang Prioritaskan Kesehatan Atlet Muda Jelang POPNAS 2025: Wali Kota Lis Pastikan Kesiapan Fisik dan Mental Pemprov Riau Dorong Sinergi dengan BAZNAS untuk Optimalkan Penyaluran Zakat Kepri di Antara Jalan Sunyi DPRD dan Pemko Batam Sepakat Perkuat Tata Kelola PSU Perumahan, Dorong Kepastian Hukum bagi Warga Ribuan Guru Gelar Aksi Damai di Monas, Tuntut Pemerataan Tunjangan dan Pengangkatan ASN

Ragam

Kepri di Antara Jalan Sunyi

badge-check


					Taufik Ikram Jamil. F: Dok Perbesar

Taufik Ikram Jamil. F: Dok

Catatan  Taufik Ikram Jamil

 

Satu

PATUTLAH dikatakan pada awal bahwa Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), merupakan daerah yang paling dinamis dalam kehidupan sastra Melayu modern meliputi negara serumpun seperti Indonesia, Malaysia, Sungapura, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan. Penemuan dan pembauran sekaligus pembaruannya meletup-letup dengan pengeksperian massa secara konsisten ditanbah lagi dengan stamina tinggi di antara kreatornya, sungguh menjadikan Kepri sebagai sesuatu.

Sebaliknya, patut juga dikatakan pada awal bahwa sebenarnya saya agak ragu menyebut dinamisasi sastra dengan latar belakang nama geografis politik ini, yakni Kepri. Pasalnya, dinamisasi tersebut melampaui apa yang dipahami oleh administratif pemerintahan murakhir itu, sehingga kalau salah-salah, bisa mengerdilkannya dalam kotak sempit. Tapi untuk memenuhi permintaan panitia, saya gunakan jugalah terminalogi politik ini dengan harapan untuk lebih memfokuskan perhatian.

Selebihnya, patut disampaikan sejak awal bahwa walaupun akan lebih fokus, pandangan akan tertuju kepada berbagai obyek dan hal itu pun akan menyisakan banyak kealpaan. Cuma memang, tidak ada rincian dalam suatu arak-arakan yang dipandang secara keseluruhan, sehingga haraplah dimaklumi “keterwakilan” menjadi pilihan untuk suatu kesimpulan. Yang pasti, ada kerangka waktu yakni Melayu modern dengan pemahaman sebagai lanjutan waktu dari masa Melayu klasik malahan Melayu kuno ataupun purba, di sini dan kini.

Syahdan, dari arak-arakan dinamisasi sastra Melayu modern itu. tanpa memosisikan deret ukur maupun deret hitung, secara kalenderis, tentu kita semua sepakat menyebut nama Raja Ali Haji pada punca sekaligus puncak. Ia menggali dan menemukan. Salah satu bentuk puisi yang dinamainya gurindam, belum ditemui dalam bentuk tulisan sebelumnya, sehingga memungkinkannya berumur panjang. Ia bahkan sempat membuat rumus gurindam dan syair, mungkin pula semacam kredo, sehingga karyanya lebih mudah dinikmati, bahkan merambah pada bagaimana karya seni ini ditampilkan di depan masyarakat.

Walaupun dengan porsi yang lebih kecil, upaya yang dilakukan H. Ibrahim, tidak pula ringan. Dalam kecemerlangan literasi Kerajaan Riau-Lingga, pantun yang semula lisan, dengan serta merrta ditulisnya dalam bentuk buku bertajuk Pantun-pantun Melayu. Tak sekedar dokumentasi agaknya, ia memperlihatkan bentuk karya puisi ini mengalami perbedaan ketika dilisankan dengan tulisan. Dengan tulisan, pantun  mengarah kepada apa yang disebut pantun berkait, tidak halnya ketika lisan yang lebih memikliki keragaman bentuk, apalagi cenderung untuk saling tanggap. Betapapun, dia dapat disebut sebagai orang Melayu pertama menuliskan pantun, setelah terlebiuh dahulu dilakukan sejumlah sarjana Eropa walapun sebagai penerbitan lepas.

Sementara Aisyah Sulaiman, dengan kekuatan syair, disuguhkannya pemikiran-pemikiran berani perempuan Melayu, seperti hendak menegaskan sikap Engku Hamidah dalam berbangsa dan bernegara. Dari kawasan yang mulai menjadi metropolitan baru yakni Singapura, dalam Khadamuddin misalnya, ia bentangkan posisi perempuan Melayu yang sebenar.  Ding Choo Ming menulis (1994):

Beliau tidak memperkatakan kegemilangan sejarah Melayu pada masa lalu atau kehebatan raja-raja Melayu seperti dalam Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai atau Hikayat Merong Mahawangsa. Beliau tidak lagi melahirkan karya untuk menghiburkan, tetapi perkara yang serius untuk wanita, seperti masalah diskriminasi seks dan kawin paksa. Setelah menyadari kedudukan wanita, Raja Aisyah yang sememangnya menjadi amat peka kepada desakan hati, beliau juga amat prihatin kepada perasaan masyarakat dan bertekad untuk mengubahnya.”

 

Dua

DENGAN menyadari keadaan sosio-politis sekaligus sosio-budaya, dapat dipahami bahwa sesungguhnya penemuan dan pembauran sekaligus pembaruannya dalam dunia sastra dari kawaasan ini masih berdenyar, ketika pada tahun 1960-an, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) mengibarkan bendera kembali ke jati diri melalui mantera. Secara kategori waktu, mantera “seangkatan” dengan pantun dan gurindam – sebagai ekspresi dari massa purba, setidak-tidaknya kuno. Tetapi dalam kreativitas SCB, sesungguhnyta mengandung penemuan Raja Ali Haji dalam memanfaatkan tradisi untuk bertolak, pengaksaraan tradisi dalam diri H. Ibrahim, dan daya kemutakhiran pada Aisyah Sulaiman.

Dengan mantera, SCB seperti bebas menempatkan kata-kata sesuai perannya sehngga kata-kita tidak musti tunduk pada peran yang diberikan penggunanya. Mentera memperluas perhatiannya,  bukan saja penghambaan diri pada sesuatu Yang Maha Tinggi, tetapi juga pencarian terhadap-Nya, sebagaimana gurindam yang ditemui dalam tunjuk ajar Melayu bukan lagi berisi penuih nasihat, tetapi sampai posisi hidup bernegara. Malahan, SCB dengan amat berhasil menggubal kelisanan dan keberaksaraan yang menjadi santapan dunia digital sekarang sehingga menjadi kode sastra Nusantara.

Di sisinya, dalam dunia prosa, ada nama besar yakni Hasan Junus (HJ). Seangkatan SCB, ia menampi kata-kata Melayu dan menghidangkannya ke khalayak dengan brilian seperti terlihat pada Burung Tiung Seri Gading . Cuma tak sampai di situ, rasa Melayu tetap segar dalam karya-karya terjemahannya  memperlihatkan bahwa bahasa Melayu tak tenggelam dalam ekspresi dari mana pun. Melalui esai-esainya, kita disodorkan bagaimana memahami cakrawala dari rumah kita sendiri yang seolah-olah hendak mengatakan bahwa Melayu tidak habis dengan dirinya, tetapi bisa di mana-mana dan bila-bila masa pun.

Di tengah gemuruh kesastraan Kepri yang menjadi parade penemuan dan pembauran sekaligus pembaruannya, muncul satu nama yang tak baru, tetapi tegak bagai nibung di tengah laut, Rida K. Liamsi.  Berbeda dengan SCB di jalan puisi yang meski akrab digelutinya sejak awal, Rida akhirnya memilih jalan sedikit membelok dibandingkan HJ yakni prosa: Dia menulis novel dengan latar sejarah yang melingkupi negara serumpun. Ia seperti memberi stabilo jangkauan dalaman kreativitas Melayu yang bertumpu pada kemanusiaan, sehingga tetap menjaga kesejagatan.

Cuma, berbeda dengan nama-nama yang sudah disebutkan terdahulu, Rida melengkapi kreativitasnya dengan kemampuannya sebagai penggiat sastra. Bahwa dunia ini harus diurus, tidak hanya bisa bertunpu dengan arus kreativitasnya. Terlihat dari kioprahnya di media massa sampai sempat membuika empat halaman untuk sastra dan budaya, ia menyelenggarakan kegiatan sastra budaya. Puluhan tahun, Anugerah Sagang menjadi ukuran pencapaian, kemudan Hari Puisi Indonesia yang kini sudah ditetapkan sebagai hari nasional, juga tak kalah pentingnya Festival Sastra Internasiional Gunung Bintan (FSIGB) yang setiap tahun dilaksanakan dalam waktu belasan tahun berturut-turut. Tempat lain, ada yang macam gini, he he he…

 

Tiga

MAAFKANLAH, sesungguhnya masih banyak nama lagi yang harus disebut, apalagi banyak yang berbakat di sini semacam Husnizar Hood, Hasan Aspahani, Ramon Domora, Abdul Kadir Ibrahim, Samson Rambah Pasir, Tarmizi, Daud, Yuanda Isha, bahkan Taufik Muntasir yang diam-diam sempat menerbitkan kumpulan cerpen Lidah yang Menjulur. Tapi sepakat kita barangkali, dengan menyebutkan nama-nama di atas, dari Raja Ali Haji sampai Rida K. Liamsi, sudah dapat memperlihatkan premis awal saya pada paragraf pertama dari catatan ini yakni penemuan sastra dan pembauran sekaligus pembaruannya paling dinamis dengan pengeksperian massa secara konsisten ditanbah lagi dengan stamina tinggi di antara kreatornya, sungguh menjadikan Kepri sebagai sesuatu.

Ingatlah kita, SCB dan Rida K. Liamsi sudah berumur di atas 80 tahun yang sampai sekaranng masih berkarya, sehingga dapat kita katakan memiliki stamina tinggi di antara sastrawan (kreator). Tapi saya juga ingat, guru saya, Hasan Junus pernah mengatakan bahwa Riau (waktu itu Riau dan Kepri) memiliki pemimpin-pemimpin sastra, tetapi minim pengikut. Pada satu sisi lain bagus karena setiap orang harus menemukan dirinya sendiri karena sidik jari kita pun berbeda-beda, tetapi di sisi lain terjadi penghamburan energi tanpa kendali.

Raja Ali Haji menemukan dan merumuskan gurindam misalnya, tetapi siapakah yang mengikutinya setelah itu? Beberapa orang muncul dengan mantera setelah kebangkitan SCB, tetapi bergelimpangan kemudian saat baru maju beberapa langkah. Tampaknya tak ada yang terdaya menampi kata-kata seperti HJ, apalagi meneroka sejarah yang ranggi dalam prosa Rida. Bukankah ini semua melengkapi bukti dari judul catatan ini, Kepri di antara jalan sunyi.

Lalu dengan demikian, wajarlah diperjuangkan Hadiah Nobel untuk SCB, dan setidak-tidaknya SEA Write Award untuk Rida K. Liamsi, agar sunyi itu tetap berdiri sebagai suatu eksistensi.  Suai?

 

Catatan ini disampaikan dalam seminar pada Festival Sastra Internasional Gunung Bintan 2025 di Tanjungpinang, 29 Oktober 2025

 

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Berdelau, Mahasiswa Asal Riau Raih Juara di Kompetisi Menyanyi Kampus Taiwan

30 Oktober 2025 - 06:53 WIB

Timor Leste Resmi Bergabung ke ASEAN: Akhir Penantian 11 Tahun dan Awal Babak Baru Persaudaraan Melayu

29 Oktober 2025 - 14:51 WIB

Strategi Investor Menghadapi Gejolak Pasar Akibat Isu Politik Global

28 Oktober 2025 - 10:35 WIB

Bupati Siak Buka Perhelatan Kancah Budaya 2025, Bersungut Dapat Hadiah

25 Oktober 2025 - 06:13 WIB

Arvin Max Patty: Dari Bengkel SMK Menuju Panggung Kepemimpinan Nasional

22 Oktober 2025 - 06:56 WIB

Trending di Batam