RiauKepri.com, PEKANBARU- Di depan Kantor Gubernur Riau penuh ketegangan, semangat, dan amarah yang menggelegak. Ratusan mahasiswa Universitas Riau (Unri) beraksi dengan membawa bendera.
Agen perubahan itu membawa suara, membawa Bendera Merah Putih berkibar di antara ratusan massa, berdampingan dengan pataka-pataka organisasi kampus. Tapi ada satu bendera yang mencuri perhatian, bendera bergambar tengkorak dari serial One Piece, simbol perlawanan fiksi yang kini menjadi bentuk kritik nyata kepada pemerintah. Bagi mereka, bendera itu bukan sekadar hiasan, ia adalah pernyataan.
“Kami bukan sedang bermain-main. Ini suara rakyat, ini suara mahasiswa, ini suara mereka yang tidak bisa kuliah karena tidak punya biaya,” teriak Muhammad Azhari, Mensospol BEM Unri dari atas mobil komando.
Beasiswa Tak Kunjung Hadir
Di antara banyak tuntutan, satu yang paling nyaring terdengar adalah soal beasiswa. Mahasiswa menagih janji pemerintah soal program satu rumah satu sarjana, janji yang bagi sebagian keluarga di Riau adalah harapan untuk keluar dari kemiskinan. Tapi realitasnya, program itu tak kunjung berjalan. Beasiswa belum juga dibuka, sementara waktu terus berjalan dan biaya kuliah tak menunggu.
“Di provinsi sekaya Riau, yang penuh sumber daya alam, masa ada anak bangsa harus putus kuliah hanya karena tidak punya uang?” pekik Azhari.
Ketika Suara Tidak Didengar
Aksi Kamis (14/8/2025), dimulai sejak pukul 10.00 WIB, dengan harapan bisa menyampaikan langsung tuntutan kepada Gubernur Riau Abdul Wahid. Namun, hingga siang menjelang, tak ada tanda-tanda datuk seri setia amanah itu akan hadir. Yang datang adalah Penjabat Sekda Provinsi Riau, M Job Kurniawan.
Namun mahasiswa menolak. Mereka bersikukuh, hanya gubernur yang berhak menjawab persoalan ini. Tidak ada negosiasi. Tidak ada kompromi.
“Kami sudah sepakat, aksi ini tidak akan berhenti sebelum gubernur menemui kami,” tegas salah satu perwakilan mahasiswa di hadapan aparat.
Ketegangan Gerbang
Di balik pagar besi tinggi Kantor Gubernur Riau, aparat keamanan bersiaga. Sementara di luar pagar, massa terus mendesak masuk. Dorong-mendorong tak terhindarkan. Ketegangan meningkat. Pagar pejalan kaki berhasil didobrak. Beberapa mahasiswa naik ke pagar, berusaha membukanya dari atas.
“Jangan terpancing, jangan terprovokasi!” seru Sekdaprov M Job dari sisi dalam pagar, berusaha meredam emosi massa. Tapi semangat mahasiswa tak surut.
Hingga pukul 13.00 WIB, mahasiswa masih bertahan. Terik matahari tak menghalangi tekad. Sebagian dari mereka mulai kelelahan, empat orang dilaporkan cedera dalam aksi dorong. Namun mereka tetap menunggu Gubernur Riau.
Tak Sekadar Demonstrasi
Aksi ini mungkin akan dilihat sebagian orang sebagai kericuhan. Tapi di balik pagar yang didobrak itu, ada lebih dari sekadar gerakan massa. Ada jeritan mahasiswa yang ingin kuliah. Ada rakyat yang menuntut keadilan atas konflik lahan. Ada warga yang khawatir menghirup asap Karhutla setiap musim kemarau.
Mahasiswa Universitas Riau tidak meminta negara dibagi. Mereka tidak membawa wacana pemisahan. Mereka hanya ingin suara mereka didengar, hak mereka dipenuhi, dan janji-janji ditepati.
“Riau tidak butuh merdeka, Riau butuh didengar,” kata seorang mahasiswa dengan suara lelah namun mata tetap menyala.
Hingga senja hendak menutup langit Pekanbaru, pagar besi itu masih menjadi batas antara suara rakyat dan ruang kekuasaan. (RK1)