RiauKepri.com, SIAK — Di tengah limpahan minyak bumi dan hamparan perkebunan yang luas, Kabupaten Siak, Riau, justru merasakan getirnya menjadi daerah penghasil sumber daya alam. Dana Participating Interest (PI) yang diterima daerah tahun ini hanya setara 1 dollar AS per bulan atau sekitar Rp16 ribu, berdasarkan ketentuan pemerintah pusat.
Bupati Siak Dr. Afni Zulkili mengatakan, kondisi tersebut membuat daerah penghasil minyak seperti Siak berada dalam posisi sulit. Hampir semua kewenangan perizinan sektor sumber daya alam kini telah ditarik ke pemerintah pusat.
“Limbah dan konflik sosialnya kami yang menanggung di daerah, tapi hasilnya semua ke pusat. Sekarang DBH-nya tinggal satu dolar. Kami seperti tak punya daya lagi,” ujar Afni dengan nada lirih,
Ahad (26/10/2025).
Menurut Afni, kabupaten yang ia pimpin juga terancam mengalami pemangkasan Transfer Keuangan Daerah (TKD) hingga lebih dari Rp300 miliar pada tahun depan. Pemangkasan terbesar terjadi pada pos pajak sumber daya alam, meski luas kawasan hutan tanaman industri (HTI) dan hak guna usaha (HGU) di Siak termasuk yang paling besar di Riau.
“SDA kami semuanya ke pusat dulu, tapi bagi hasilnya yang tak seberapa harus kami terima dengan ikhlas. Dulu semua tanah ini milik Sultan Siak, sekarang rakyatnya seperti harus mengemis ke pusat. Ini faktanya,” ungkap Afni.
Kewenangan daerah, sambung wanita pertama menjadi bupati di Siak itu, semakin sempit. Bahkan untuk urusan kecil seperti pendirian jembatan timbang guna mengawasi kendaraan over dimension over loading (ODOL), izinnya kini harus dari Jakarta.
“Bayangkan, jalan-jalan rusak di kampung, korban jiwa sudah ada, tapi izin untuk mengawasi kendaraan berat saja kami tak punya kewenangan lagi,” ujarnya.
Meski ruang fiskal makin sempit, Pemkab Siak tetap berupaya menambal kekurangan anggaran dengan cara sederhana. Di Jalan Lintas Bungaraya, misalnya, pemerintah daerah hanya mampu menutup lubang jalan memakai bahan seadanya.
“Kas daerah nyaris kosong, tapi kami tetap harus melayani rakyat. Jalan bolong kami tambal seadanya. Ini bentuk tanggung jawab kami,” ujar mantan wartawan itu.
Afni menyebutkan Bungaraya hanyalah satu contoh kecil. Di pelosok-pelosok Siak lainnya, kondisi lebih memprihatinkan karena infrastruktur minim dan akses pembangunan terbatas. Jika transfer keuangan terus dipangkas, ia khawatir banyak wilayah tertinggal akan makin terisolasi.
“Pertanyaannya sekarang, masih adakah gunanya otonomi daerah kalau semua ditarik ke pusat?,” tutur Afni menutup perbincangan.
Sebelumnya Gubernur Riau, Abdul Wahid, mengungkapkan sektor minyak dan gas (migas) tidak lagi memberikan sumbangan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Riau pada 2025. Dari data yang ia terima, porsi participating interest (PI) untuk daerah penghasil hanya 1 dollar AS per bulan. “Problemnya, triwulan II pertumbuhan ekonomi kita 4,59 persen, tapi sektor migas justru menyumbang negatif. Tanpa migas, ekonomi Riau bisa tumbuh 5,6 persen. Artinya ada tata kelola yang salah,” ujar Wahid saat pertemuan dengan jajaran Pertamina Hulu Rokan dan SKK Migas Sumbagut di Jakarta, pertengah bulan lalu.
Wahid menduga, investasi besar yang dilakukan Pertamina Hulu Rokan (PHR) selama ini tidak banyak melibatkan perusahaan lokal, sehingga dampaknya minim bagi perekonomian daerah. “Saya menduga investasi besar PHR tidak melibatkan cukup banyak lokal konten. Kami minta transparansi berapa nilai investasi dan hasilnya. PI 10 persen tapi yang kami terima hanya 1 dollar sejak Januari lalu,” ungkap Wahid. (RK1)







