Menu

Mode Gelap
Di Tengah Amuk Warga Siak Masih Hangat, Menejer PT SSL Meninggal, Apa Pasal? Sah, PWI Tandatangani Panitia Bersama Kongres Persatuan Wabup Kepulauan Meranti Hadiri Penandatanganan Pakta Integritas SPMB SMA-SMK se-Riau Dukung Program Penghijauan Kapolda Riau, Polsek Rumbai Pesisir Tanam Pohon  108 Ribu Siswa di Riau Lulus SMP, Persoalannya Bukan Pada Daya SPMB PPPK Setwan Batam Ikut Sukseskan Goro Massal “Batam Bersih dan Bebas Banjir”

Riau

Memberontak untuk Menjadi Diri Sendiri

badge-check


					Hang Kafrawi Perbesar

Hang Kafrawi

Oleh Hang Kafrawi

Di era algoritma yang mengatur bahkan arah tatapan mata kita, banyak dari kita kehilangan arah. Kita tidak lagi melihat dunia sebagaimana adanya, tapi sebagaimana mesin menyaringnya untuk kita. Kita dicekoki gambaran-gambaran kesuksesan, disuapi mimpi-mimpi yang bukan milik kita, dan dipaksa menelan standar hidup yang dibentuk oleh orang lain. Di tengah gempuran itu, agar kita, khususnya generasi muda, tidak tersesat terlalu jauh dalam rimba absurd modern ini, sebaiknya kita membangun diri sendiri dengan suara hati. Jangan sampai pertanyaan ini membanjiri relung jiwa, “Apakah aku cukup?”

Suara itu perlahan menjadi jeritan, lalu sunyi kembali, terkubur oleh konten yang terus menggulir tanpa henti. Kita ragu pada kemampuan diri. Kita merasa ide kita tak cukup “bagus”, tulisan kita tak cukup “menjual”, suara kita tak cukup “nyaring”. Kita takut berbeda, karena berbeda berarti tertinggal. Maka kita ikut-ikutan. Kita menyerah. Kita asing terhadap diri sendiri.

Albert Camus, filsuf yang menolak absurditas sebagai akhir, mengatakan bahwa dalam dunia yang tak masuk akal ini, kita tetap bisa memberi makna. Caranya dengan memberontak, tapi pemberontakan Camus bukan tentang kekerasan atau amarah yang membabi buta. Ini adalah pemberontakan batin, pemberontakan terhadap kemapanan pikiran yang membunuh kemungkinan. Ini adalah perlawanan terhadap keputusasaan dengan terus menciptakan, dengan terus berkata “Aku ada. Aku hidup. Dan aku akan bersuara.”

Pemberontakan dalam pandangan Camus bukan kehancuran, melainkan pengakuan atas eksistensi diri sendiri yang merdeka. Kita memberontak bukan untuk menghancurkan dunia, tapi untuk menyatakan bahwa kita ada, dan kita akan hidup dengan nilai-nilai kita sendiri, bukan nilai yang dipaksakan oleh dunia yang kehilangan makna.

Kita harus berani menolak menjadi cermin dari algoritma. Kita harus berani menulis dari luka kita sendiri, bukan dari template cerita sukses yang viral. Kita harus jujur pada dunia bahwa kita pernah hancur, bahwa kita rapuh, bahwa kita bimbang. Tapi dari keretakan itulah cahaya bisa masuk. Kita tidak harus menjadi luar biasa seperti yang ditunjukkan dunia. Kita hanya perlu menjadi benar-benar diri sendiri.

Tulisan-tulisan kita mungkin tidak akan langsung dibaca ribuan orang, tapi jika satu saja hati tergetar, maka kita telah menang atas absurditas itu. Kita telah mengalahkan kekosongan yang ingin menelan kita. Kita telah mengada. Kita telah eksis.

Kita harus benar-benar bangkit dengan potensi yang kita punya. Jangan pernah memandang diri kita lemah. Kita adalah lautan sekaligus gelombang yang harus senantiasa ada dalam pikiran kita. Bukankah Sang Maha Kuasa telah mempercayai kita untuk menjalani hidup ini dengan pikiran dan hati. Kitalah sang juara itu!

Jadi, untukmu yang sedang merasa kecil, yang merasa kalah sebelum bertanding, yang merasa tulisanmu belum cukup; jangan berhenti. Tulis terus, bahkan ketika suara batinmu berkata itu sia-sia. Karena dalam tindakan menulis itu, kau sedang memberontak. Dan dari pemberontakan itulah, lahir makna. Bukan makna yang dijanjikan dunia, tapi makna yang kau bangun sendiri dengan darah dan cahaya.

Untuk kalian para generasi muda yang sedang menuntut ilmu sedang mencari terang di tengah kabut, jangan biarkan sistem menjadikanmu pengikut yang kehilangan arah. Gali terus potensimu sendiri. Belajarlah tidak hanya dari silabus atau di ruang kelas, tapi juga dari kegelisahanmu. Jangan hanya menghafal teori orang lain, tapi ciptakan tafsir hidupmu sendiri. Ilmu sejati bukan untuk menjadikanmu mesin bersertifikat, tapi manusia yang mampu mengguncang dunia dengan pikiran dan keberanian.

Ingatlah, potensi dirimu bukan datang dari ruang hampa. Ia tumbuh dari tanah tempat kau dilahirkan. Dari kebudayaan tempatan, bahasa ibumu, cerita rakyat di kampungmu, irama doa yang sejak kecil kau dengar, dan nilai-nilai luhur yang mengalir di nadi masyarakatmu. Jangan malu dengan akar itu. Justru di sanalah kekuatanmu. Gelorakan kebudayaanmu, kembangkan ia menjadi karya.  Dunia hari ini butuh suara-suara asli, bukan salinan yang kehilangan jiwa.

Perlu juga diingat, pemberontakan hari ini bukan lagi hanya soal melawan sistem kekuasaan, tapi juga melawan dominasi pemikiran orang lain yang disuguhkan oleh media-media teknologi. Media hari ini kerap menyamar sebagai kebenaran, padahal banyak yang hanya ilusi algoritmik. Dengan kontek hari ini, memberontak adalah tindakan merdeka untuk berpikir sendiri, menggali kebenaran dari batinmu sendiri, bukan menelan mentah-mentah citra dan suara yang dibentuk dari luar. Pemberontakan seperti itu adalah bentuk pembebasan yang sejati, pembebasan untuk menjadi dirimu sendiri.

Lebih dari itu, pemberontakan hari ini adalah tindakan kreatif, memadukan nilai-nilai kebudayaan yang kau miliki dengan kekuatan dirimu sendiri. Ketika akar budaya menyatu dengan kesadaran eksistensialmu, maka dari sanalah lahir karya-karya yang bukan hanya indah, tapi juga berdaya guncang. Perlu dicatat bahwa membebaskan bukan sekadar menolak, tapi mencipta dari yang paling dalam dan paling jujur dari dirimu.

Melihat kenyataan hari ini, maka jangan kau pendam potensi dirimu. Dunia takkan berubah jika kau hanya diam. Tunjukkan bahwa kau ada dengan karya, dengan keberanian, dengan suara yang lahir dari dirimu sendiri. Banyak generasi muda hari ini terperangkap oleh bayang-bayang kesuksesan orang lain dengan angka-angka yang viral, pencapaian yang pamer, hidup yang tampak sempurna di layar. Mereka merasa kalah sebelum berjuang, lalu perlahan ‘membunuh’ diri sendiri, memendam potensi, mengubur keberanian, bahkan kehilangan jati diri. Kalian tak harus ikut hanyut. Bangkitlah. Lawan rasa kecil itu. Tulis. Cipta. Bersuara. Sebab dalam setiap tindakanmu untuk tetap hidup dan berkarya, di situlah pemberontakanmu. Dari pemberontakan itulah, eksistensimu bersinar

Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UNILAK

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Di Tengah Amuk Warga Siak Masih Hangat, Menejer PT SSL Meninggal, Apa Pasal?

13 Juni 2025 - 19:11 WIB

Di Malam Gelap, Nelayan Rupat Selamatkan 32 Nyawa Pekerja Migran Ilegal

13 Juni 2025 - 15:31 WIB

LAMR Gelar Serangkaian Kegiatan Milad ke-55

13 Juni 2025 - 15:07 WIB

Dari Riau Menjemput 2 Juta Pasien Senilai Rp176 Triliun yang Berobat ke Luar Negeri

13 Juni 2025 - 14:56 WIB

Menkes RI Resmikan Groundbreaking RS UPT Vertikal Riau, Diharapkan Jadi Pusat Rujukan Kesehatan di Sumatera

13 Juni 2025 - 14:35 WIB

Trending di Nasional