Menu

Mode Gelap
Penyerangan Rombongan Bupati dan Kapolres Kuansing, Akibat Penegakan Hukum Setengah Hati Bunga Rampai Pemekaran Kab. Kuantan Singingi (7): Kisah di Balik Pelantikan Sekda: Ditegur Ruchiyat, Korlap Demo ARI Terkejut Prof. Dr. Abdoerraoef (1916–1974): Ketua Kongres Rakyat Rantau Kuantan Singingi Pertama Tahun 1953 Prakiraan Cuaca Riau Utara 08 Oktober 2025: Hujan Ringan Mendominasi, Suhu Antara 24–30 °C Dana Transfer Dipangkas, Bupati Siak: Susun Anggaran Secara Realistis dan Tepat Sasaran Staf Khusus Gubernur Kepri H. Nurdin Basirun Secara Resmi Buka Open Turnamen Bola Voli Desa Sebele

Ragam

Kisah Mengharukan MUTRIDA: Perawat Asal Kuantan Singingi, Saksi Bisu Tsunami Aceh

badge-check


					Mutrida dalam kenangan Perbesar

Mutrida dalam kenangan

PARA nelayan berada di laut lepas.
Kaum ibu sedang sibuk di dapur.
Anak-anak usia sekolah menikmati hari libur.

Sebagian pemuda sedang berolahraga.
Sebagian lagi bersiap-siap menuju pantai untuk berrekreasi.

Para buruh bangunan sedang bekerja.
Suasana pasar hiruk pikuk dengan dengan berbagai transaksi.
Burung-burung baru saja meninggalkan sarang.

Tiba tiba pukul 07.58 WIB, Ahad, 26 Desember 2004 Bumi Serambi Mekkah berguncang dasyhat. Guncangan gempa pada 8,9 skala richter itu berlangsung puluhan menit tanpa henti.

Bumi bergerak ke bawah dan ke atas ke kiri dan kanan. Berayun ayun terus menerus.
Orang-orang berlari keluar rumah.
Berkumpul di jalan-jalan dan lapangan terbuka.
Mereka seperti berada dalam tampi.

Kepala terasa pusing sehingga banyak terjerembab ke bumi. Suara azan Allahu Akbar berkumandang dari menara-menara mesjid dan mushallah

Suara zikir pun membahana di mana-mana.
Jutaan mulut melafazkan zikir azma Allah: Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah.
***

DESEMBER bagi masyarakat Aceh adalah bulan yang penuh duka. Gempa yang
mengguncang Samudera Hindia, di lepas pantai Sumatera Utara, Indonesia.

Lindu memicu tsunami dahsyat yang menyapu area pantai di sejumlah negara. Salah satu daerah paling terdampak adalah Meulaboh, dekat Banda Aceh.

Pesisir pantai Meulaboh, (Aceh) habis digulung hancur berkeping-keping. Ribuan penduduk Meulaboh yang hidup di tepi pantai terseret tsunami. Lainnya nelangsa duduk. Terduduk lunglai bersilang tangan mengingat nasib tiada berdaya.

Kisah Mutrida

SATU di antara yang dulu nelangsa dan kini masih hidup itu adalah MUTRIDA, S. Kep. Ia tenaga medis asal Kampung Baru Sentajo, Kecamatan Sentajo Raya, Kuantan Singingi yang bertugas di RSUD Cut Nyak Dhien, Meulaboh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Imut sapaan akrabnya salah seorang “saksi bisu” betapa dahsyatnya tsunami yang melululantakkan Bumi Rencong Aceh itu.

Adik sebapak dari dr. H. Taswin Ya’cub, Sp.S itu selamat karena ikut suaminya pindah ke asrama militer Korem di Alue Peunyareng Meulaboh.

“Dua hari sebelum kejadian nahas itu kami pindah rumah,” katanya dengan sedih di balik raut wajahnya yang masih kelihatan cantik “bedelau” itu.

“Ketika pindah rumah itu anak pertama kami: Aprillia Herida berumur 1,5 tahun. Sekarang sudah kuliah di STIKES Haji Medan (Sumatera Utara) Jurusan Farmasi),” tambahnya.

Suami Mutrida, Herriyanto adalah seorang tentara. Kini bertugas di Kodim Kabupaten Nagan Raya. Teman-temannya suami juga banyak yang meninggal karena belum sempat mengikuti jejak mereka pindah asrama yang baru dibangun itu.

“Saya sebenarnya malas menceritakan ini. Kesedihan itu masih berbekas,” ujarnya.

Mutrida melihat dengan matanya sendiri bagaimana air bah menyapu apa saja yang ada di depannya; rumah-rumah, sekolah, balai desa, pohon-pohon, dan tentu saja orang-orang yang tak berdaya. Lebih dari 230 ribu orang meninggal dunia, jutaan lainnya kehilangan tempat bernaung.

“Ajaibnya ada mesjid di Suak Indra Puri dan Gedung PT. Telkom masih berdiri kokoh di Meulaboh, walau diguncang gempa maha dasyat itu,” ujar Mutrida.

Menurut Mutrida setelah gempa itu tiga bulan lamanya mereka terisolasi. Makan apa adanya. Hubungan dengan keluarga di kampung halaman juga terputus. Banyak yang mengira ia terseret gelombang tsunami tersebut.

Bahkan di kampung halamannya Desa Kampung Baru Sentajo, Sentajo Raya, Kuantan Singingi keluarga besarnya sudah mengadakan do’a. dan tahlilan.

Tanda saudara mereka sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Rupanya nasib berkata lain, saudara yang dikira sudah meninggal dunia itu ternyata masih hidup.

Mutrida Ditenuka

ADA kisah menyentuh di balik penemuan Mutrida. Suatu ketika abangnya Taswin Yacub bertemu mahasiswa Riau yang mau berangkat jadi relawan ke Aceh melalui Bandara Internasional Sultan Syarif Qasim Pekanbaru.

Taswin menyampaikan pesan kepada relawan tersebut: Kalau pergi ke Meulaboh tolong cari adiknya dengan menyebut ciri ciri adiknya. Kulit putih, tinggi sekitar 155 cm, berjilbab, dan badan sedikit gemuk.

Taswin masih berharap adiknya itu masih hidup, padahal keluarga besarnya sudah ikhlas mendoakannya pergi untuk selama-lamanya jika Tuhan berkehendak.

Beberapa hari setelah mendarat di Aceh, sang relawan mencoba mencari alamat yang ditunjukkan Taswin Yacub. Sebelum sampai di tempat tujuan, mereka bertanya dulu di RSUD Cut Nyak Dhien tempat sang adik bertugas.

Ternyata orang yang mereka cari masih ada dan tingggal di asrama militer. Tak jauh dari rumah sakit tersebut. Bergegas mereka datang ke tempat yang dituju.

Minggu, Februari 2005 pukul 14:00 WIB mereka menjumpai orang yang mereka cari lagi bermain dan bersenda gurau dengan anak bayinya.

Tanpa basa basi sang relawan itu bertanya?

“Ini benar Ibu Mutrida?” Benar…”

“Ada apa ya?” tanya Mutrida sedikit penasaran.

“Kami mau mencari Ibu Mutrida,” jawab relawan itu singkat.

Mutrida kembali tersenyum. Senyuman yang penuh arti. “Saya benar Mutrida. Saya Mutrida…. saya…. Relawan itu masih tak percaya. Mana tau ada orang lain yang bernama sama. Setelah dicocokkan dengan ciri-ciri yang disebutkan Taswin Ya’cub, mereka baru sadar yang mereka jumpai itu benar-benar Mutrida orang yang mereka cari.

Terjadilah dialog singkat antara relawan asal Riau itu dengan Mutrida. Kembali ke posko relawan itu lalu mengabari Taswin Ya’cub, bahwa adiknya masih hidup. Keluarganya juga masih utuh: suami dan anaknya selamat dari terjangan tsunami.

Betapa gembira hati keluarganya di kampung mendengar kabar orang yang sudah mereka doakan dianggap meninggal dunia ternyata masih hidup.

Menurut Mutrida, tsunami merupakan pengalaman tidak terlupakan dalam hidupnya. Sebagai tenaga medis, pasca tsunami, ia masih sempat membantu relawan dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Singapura, Kamboja, Qatar, dan TNI menangani korban tsunami.

Tentu dengan peralatan seadanya karena peralatan di rumah sakit dan tenda-tenda pengungsian ikut jadi “korban” tsunami tersebut.

Penuh Liku

PERJALANAN Mutrida ke Aceh sebenarnya cukup panjang dan berliku. Anak ketiga dari pasangan Ya’cub dan Nurlela ini ke Aceh tahun 1994 mengikuti abangnya dr. H Taswin Ya’cub, Sp.S (satu ayah lain ibu) yang bertugas RSUD dr. Zainal Abidin Banda Aceh sebagai dokter spesialis penyakit syarap.

Di Aceh, Mutrida kuliah di Akper Depkes Banda Aceh (1994 – 1998). Setelah lulus dan bekerja di RSUD Zainal Abidin Banda Aceh, ia menikah 2001. Kemudian ia pindah mengikuti suaminya ke Meulaboh 2002 dan Bekerja di RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh sampai sekarang.

Dari pernikahannya dengan Heriyanto yang saat ini bertugas di Kodim Kabupaten Nagan Raya, Mutrida punya tiga anak. Pertama: Aprillia Herida STIKES Haji Medan (Sumatera Utara) Jurusan Farmasi. Kedua: Desika Vatarisa dan Muhammad Rizki Aulia Nanda yang kini sekolah di SMA Negeri 12 Banda Aceh.

Dalam Kenangan

Dalam pandangan Yusi Lusia Ningsih, A.Md., M.Pd, Mutrida adalah anak yang baik sama halnya dengan dua abangnya Rustam dan Fadlan.

“Kami berdua dulu sering makan pake minyak jelantah bekas goreng ikan asin. Kami juga makan gulai paku dengan sambal kelapa. Aduh sedapnya, dunia ini seakan milik kami berdua ketika itu, hahahaha ,” kenang Dosen Akademi Terapi Wicara (ATW), Jakarta sekaligus pendiri: Yayasan Ende Mandiri Bekasi, Jawa Barat ini.

Yusi menyebut Mutrida adalah teman baiknya sedari kecil. Mereka sempat berpisah sebentar karena sahabatnya itu pindah ke Parit 2 Tembilahan saat duduk di kelas 3 SD Kampung Baru Sentajo.

“Imut mengikuti Maktuonya Samsiar Sarip jualan kain dan Tv di pasar Tembilahan,” kenang Yusi.

Kemudian mereka kembali bertemu ketika sahabatnya itu pindah ke SMP Negeri 1 Sentajo. Terus mereka juga sama SMA Benai hingga lulus tahun 1990.

Kini Mutrida menatap masa depan bersama suami dan anak tercintanya di Aceh. Sesekali ia pulang ke Kampung Baru Sentajo melepas rindu dengan sanak saudaranya.

Selamat ya Mut!

Penulis: Sahabat Jang Itam
Share: 5-10-2025

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Prof. Dr. Abdoerraoef (1916–1974): Ketua Kongres Rakyat Rantau Kuantan Singingi Pertama Tahun 1953

8 Oktober 2025 - 00:08 WIB

Rombongan Bupati dan Kapolres Kuansing Diserang Saat Tertibkan PETI, Wartawan Jadi Korban Pengeroyokan

7 Oktober 2025 - 18:25 WIB

Koto Sentajo dalam Lintasan Sejarah (1945 – sekarang): Dari Bungo Koto sampai Desa Wisata

7 Oktober 2025 - 00:07 WIB

Iyotoshi Manaka “Kiper Timnas” Baserah

6 Oktober 2025 - 00:10 WIB

BRK Syariah Dampingi ASN Kuansing Siap Menyongsong Masa Purnabakti

4 Oktober 2025 - 05:37 WIB

Trending di Bisnis