Oleh Hang Kafrawi
Siang ini, setelah panas bedengkang, hujan baru berhenti. Asap tipis naik dari atap-atap seng yang baru saja disiram langit. Atah Roy melangkah perlahan menuju kedai kopi Nah Meun, tempat yang sudah jadi saksi banyak percakapan panjang antara Atah Roy dan Alim, kawan lama Atah Roy sejak dari kecil.
Kedai itu tak pernah berubah. Meja kayunya masih berbau kopi hitam dan puntung rokok. Di sudut dinding tergantung jam tua yang jarumnya sering terlambat dua belas menit. Tapi di situlah waktu terasa berjalan lebih jujur, tidak tergesa seperti dunia di luar.
Alim sudah duduk lebih dulu, menatap keluar jendela, seolah membaca sesuatu di balik renyai yang jatuh. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya seperti selalu tahu isi kepala Atah Roy.
“Roy, masih juga kau pikirkan semue itu?” katanya pelan ketika Atah Roy duduk.
“Entahlah, Lim. Kadang aku rase hidup ni seperti panggung sandiwara. Aku mainkan peran, tapi takut salah langkah. Takut orang menertawekan aku,” ucap Atah Roy menghela nafas panjang.
“Engkau ni, Roy, terlalu banyak fikir cakap orang. Orang tu kan memang kerjanya bercakap. Kalau mulut mereka ditutup, mereka bisa mati meletop,” kata Alim sambil menghidupkan korek apinya dan menyulut ke rokok yang berada di mulutnya.
“Aku cume tak mau orang salah faham, Lim. Kadang aku jujur, tapi orang tafsir lain. Kadang aku diam, orang anggap sombong,” jelas Atah Roy.
“Roy, Roy…, yang tahu keadaan kite adalah kite sendiri. Jangan peduli cakap orang lain. Hidup ini bukan pentas untuk orang lain menilai. Kite yang tanggung luke, kite juge yang tahu berat bebannye,” ucap Alim sambil menatap tajam ke arah Atah Roy.
Kalimat itu membuat Atah Roy terdiam. Di luar, hujan menetes lagi, pelan-pelan di talang seng. Atah Roy menatap cangkir kopi di hadapannya, melihat permukaannya yang beriak halus. Di situ, seolah-olah Atah Roy melihat dirinya sendiri, bergelombang oleh pandangan orang, tapi di dasar, masih hitam dan pekat seperti kopi itu.
“Kau tahu, Lim, kadang aku merasa semue perjuanganku sie-sie. Ape yang aku lakukan rasenye tak ade yang peduli,” ucap Atah Roy tampak sedih.
“Tak perlu semue orang peduli, Roy. Cukup satu yang tahu niat engkau, yaitu Tuhan. Selebihnye, biarlah angin yang bercerite,” kata Alim menyakin Atah Roy.
Atah Roy merasa kata-kata itu menamparnya. Ada keheningan panjang di antara Atah Roy dengan Alim, hanya terdengar sendok kecil beradu di gelas dan suara radio tua Nah Meun yang memutar lagu lama Iwan Fals.
“Kalau orang tak paham perjuangan engkau hari ini, Roy, mungkin besok mereke baru mengerti. Apebile kalau engkau berhenti sekarang, tak akan ade ape-ape yang dapat engkau pertahankan sebagai manusie,” jelas Alim.
Atah Roy memandang Alim dengan seksama dan untuk pertama kali sejak lama, Atah Roy merasa ringan. Semua beban dari pandangan orang seolah-olah menguap bersama asap kopi. Di luar, cahaya matahari menembus awan, jatuh ke meja mereka.
“Lim, kadang aku iri pade engkau. Engkau selalu tenang,” kata Atah Roy sambil tersenyum.
“Tenang tu bukan kerane tak ade beban, Roy. Kite semue same. Cume aku sudah letakkan semue pada yang berhak menanggung yaitu Tuhan,” ucap Alim dengan yakin.
Atah Roy terdiam lagi. Kata-kata Alim mengalir lembut tapi tajam. Dalam diam, Atah Roy tahu, percakapan ini akan tinggal lama di kepalanya.
Nah Meun datang membawa dua potong pisang goreng. “Tambah gule sikit, bio manis hidup mike berdue.”
Atah Roy tersenyum. Dalam hatinya mekar suatu harapan yang selama ini mulai menghilang. “Usah peduli cakap orang, Tak suke? Lempo!”
Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi, dosen Program Studi Sastra Indonesia, FIB Unilak