KEBERADAAAN Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang kini mengelola blok minyak terbesar di Provinsi Riau kembali menjadi sorotan tajam. Di atas kertas, Riau adalah tulang punggung energi nasional. Namun dalam kenyataan, masyarakat di sekitar wilayah operasi PHR masih berkutat dalam kesenjangan dan keterlambatan pembangunan.
Sudah terlalu lama Riau menjadi saksi ironi pembangunan: tanahnya kaya, tapi rakyatnya miskin. Seolah daerah ini hanya menjadi halaman belakang dari industri minyak nasional. Infrastruktur di wilayah bekas operasi Chevron, yang kini dikelola PHR, masih jauh dari kata layak. Jalan-jalan berlubang, ekonomi rakyat stagnan, dan peluang kerja bagi putra daerah masih sebatas janji di atas kertas.
Keadilan yang Tak Terasa
PHR sering menegaskan komitmennya terhadap tanggung jawab sosial dan pembangunan daerah. Tapi di lapangan, rasa keadilan itu belum hadir. Banyak proyek jasa dan penyediaan barang justru dikuasai perusahaan dari luar daerah. Para pengusaha lokal merasa dianaktirikan di tanah sendiri. Lebih ironis lagi, kantor pusat PHR berada di Jakarta, sementara minyaknya disedot dari bumi Riau.
Padahal, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas sudah jelas mengamanatkan pemberdayaan daerah penghasil. Amanat itu seolah hanya menjadi hiasan hukum tanpa ruh keadilan.
Data yang beredar di media sosial menunjukkan, produksi minyak mentah PHR mencapai 161.623 barel per hari. Angka fantastis. Namun, apa yang dirasakan daerah penghasil? Gubernur Riau dan Bupati Siak menyebut, dana bagi hasil yang diterima tahun ini hanya setara 1 dolar AS per bulan, sekitar Rp16.000. Jumlah yang nyaris tidak masuk akal bagi daerah penghasil minyak terbesar di Indonesia.
Ketimpangan yang Menyesakkan
Kondisi ini membuat daerah serba sulit. Dana transfer ke daerah (TKD) dan dana bagi hasil (DBH) terus tergerus oleh kebijakan pusat, bahkan ada yang dipotong hampir 50%. Sementara itu, perbaikan jalan dan infrastruktur dasar di Riau masih bersifat tambal sulam.
Gubernur Riau, Abdul Wahid, bahkan mengungkapkan bahwa sektor migas kini tidak lagi memberikan sumbangan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Riau tahun 2025. Ironisnya, pada triwulan II 2025, ekonomi Riau tumbuh 4,59%, tapi sektor migas justru menyumbang angka negatif. Tanpa migas, ekonomi Riau seharusnya bisa tumbuh 5,6%. Ini jelas menandakan ada kesalahan serius dalam tata kelola dan distribusi hasil migas nasional.
Pertamina, Jangan Jadi Tamu yang Serakah
Pertamina seharusnya tidak hanya datang mengambil hasil, tapi juga menumbuhkan kehidupan. PHR harus hadir dengan hati, bukan hanya dengan target produksi dan laporan laba. Masyarakat Riau berhak menikmati hasil dari tanahnya sendiri.
Jika PHR ingin mendapatkan kepercayaan publik, perusahaan ini perlu membangun komunikasi yang jujur, transparan, dan berpihak kepada daerah. Jangan hanya datang saat bagi hasil, lalu pergi ketika rakyat menagih tanggung jawab sosial.
Riau bukan sekadar ladang minyak, ia adalah rumah besar yang telah memberi banyak bagi Indonesia. Tapi apa jadinya jika rumah itu kini justru dibiarkan rusak dan miskin di tengah limpahan sumber daya? Jangan biarkan Riau menjadi “ayam mati kelaparan di lumbung padi.”
Oleh: Zulkarnaen Kadir, Tokoh Masyarakat Riau.







