Menu

Mode Gelap
Minta Porprov XI Ditunda, Bupati Afni: Tak Mungkin Rakyat Siak Menanggung Utang Lagi Bupati Siak Minta ASN Hemat Listrik, Biaya Capai Rp70 Miliar per Tahun Pemko Tanjungpinang Dorong Efisiensi Birokrasi Lewat Penataan Struktur Perangkat Daerah Perkuat Diplomasi Ekonomi, Gubernur Ansar Dorong Investasi dan Bebas Visa Tiongkok–Kepri Media BI Nilai Konsep DIR Penuh Kebijakan Timor Leste Resmi Bergabung ke ASEAN: Akhir Penantian 11 Tahun dan Awal Babak Baru Persaudaraan Melayu

Ragam

Timor Leste Resmi Bergabung ke ASEAN: Akhir Penantian 11 Tahun dan Awal Babak Baru Persaudaraan Melayu

badge-check


					Timor Leste Resmi Bergabung ke ASEAN: Akhir Penantian 11 Tahun dan Awal Babak Baru Persaudaraan Melayu Perbesar

Penantian panjang selama sebelas tahun itu akhirnya berakhir dengan bahagia. Pada 26 Oktober 2025, di Kuala Lumpur, Malaysia, Timor Leste resmi menjadi anggota tetap ke-11 Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Keputusan bersejarah ini menandai babak baru bagi negara muda yang diapit dua benua, Asia dan Australia.

Kabar ini bukan hanya menggembirakan bagi masyarakat Timor Leste, tetapi juga membawa haru bagi banyak orang yang pernah bersinggungan dengan mereka di masa awal perjuangan membangun jati diri bangsa. Termasuk kami, para alumni mahasiswa Yogyakarta yang dulu sempat mendampingi teman-teman pelajar asal Timor Leste.

Kami masih ingat betul bagaimana sulitnya kondisi mereka di awal masa kemerdekaan. Sebagai negara baru, Timor Leste kala itu menghadapi banyak keterbatasan, terutama di bidang pendidikan dan bahasa. Banyak mahasiswa mereka datang ke Yogyakarta tanpa memiliki wadah kebersamaan seperti organisasi pelajar daerah lainnya.

Di kota pelajar ini, mereka belajar menyesuaikan diri. Namun, karena belum ada organisasi resmi, banyak di antara mereka yang canggung dan terpisah-pisah. Kami sempat mendorong agar dibentuk kelompok belajar kecil dan wadah kebersamaan antar mahasiswa Timor Leste, agar mereka bisa saling mendukung selama menempuh studi.

Kendala bahasa menjadi tantangan tersendiri. Banyak dari mereka yang kesulitan berbahasa Indonesia. Bahkan, suatu ketika pihak kampus sempat bingung saat melihat ijazah berbahasa Portugis yang mereka bawa. Namun, semangat mereka untuk belajar tidak pernah surut.

Dari berbagai kampus di Yogyakarta, para mahasiswa Timor Leste itu perlahan mulai menunjukkan semangat kebersamaan. Kami kerap mengajak mereka untuk melakukan kegiatan positif, agar waktu luang mereka tak sekadar dihabiskan dengan nongkrong atau bermain futsal. Dengan keterbatasan yang ada, kami berupaya menjadi pendamping dan sahabat bagi mereka—tanpa pamrih.

Harapan kami sederhana: semoga mereka kelak menjadi sarjana yang bermanfaat bagi bangsanya. Entah mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau tidak, yang penting mereka dapat membawa perubahan bagi masyarakat Timor Leste.

Melalui persahabatan itu, kami banyak belajar tentang kondisi sosial dan kehidupan di negara yang baru merdeka tersebut. Dari cerita dan pengalaman mereka, kami mengetahui betapa berat perjuangan masyarakat Timor Leste membangun negaranya setelah lepas dari pangkuan NKRI.

Namun ada hal yang selalu memotivasi kami untuk tetap dekat dan membantu mereka. Sebuah filosofi sederhana: “Timor” berarti Melayu, dan “Leste” berarti Portugis. Jika digabungkan, Timor Leste berarti “Melayu Portugis”. Dalam makna itu, kami merasa bahwa mereka masih satu rumpun dengan kita, meski berbeda adat, budaya, agama, maupun bahasa.

Bahkan, di Yogyakarta kami pernah mendampingi mereka menggelar aksi damai untuk menyuarakan aspirasi tentang tanah air mereka. Semua dilakukan dengan tertib dan damai—sebuah bukti bahwa Yogyakarta benar-benar menjadi rumah bagi siapa pun yang ingin belajar dan berjuang dengan damai.

Kini, saya telah kembali ke tanah kelahiran di Riau, mengabdikan diri di provinsi ini. Namun, kenangan bersama mereka tak pernah hilang. Meski dulu sempat dianggap “penjajah”, lambat laun kami diterima sebagai saudara sendiri.

Kini, ketika Timor Leste resmi menjadi bagian dari ASEAN, saya merasakan kebanggaan yang mendalam. Seolah mereka pulang ke pangkuan keluarga besarnya di kawasan Melayu—tempat di mana persaudaraan dan sejarah lama akhirnya menemukan titik temu.

Sona Adiansyah, S.Kom.I Alumni Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2010 – 2016)

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Strategi Investor Menghadapi Gejolak Pasar Akibat Isu Politik Global

28 Oktober 2025 - 10:35 WIB

Bupati Siak Buka Perhelatan Kancah Budaya 2025, Bersungut Dapat Hadiah

25 Oktober 2025 - 06:13 WIB

Arvin Max Patty: Dari Bengkel SMK Menuju Panggung Kepemimpinan Nasional

22 Oktober 2025 - 06:56 WIB

Rajimah (1937-2021): Ketulusan “Ibu Angkat” dari Sentajo

11 Oktober 2025 - 00:07 WIB

Panggil Saja Saya ONCOL

10 Oktober 2025 - 00:06 WIB

Trending di Kuansing