Oleh Hang Kafrawi
Cerita besar melahirkan beribu tafsiran. Kalimat ini sangat tepat diarahkan kepada karya sastra Melayu klasik “Hikayat Hang Tuah”. Berbagi versi karya sastra modern Indonesia dan Malaysia terinspirasi dari Hikayat Hang Tuah ini. Salah satunya cerpen Taufik Ikram Jamill (TIJ) dengan judul “Sandiwara Hang Tuah”. Cerpen TIJ ini menjadi judul buku pula kumpulan cerpen TIJ yang diterbitkan Grasindo pada tahun 1996. Sebanyak 16 judul termuat dalam buku ini. Burung-Burung, Jangan, Oh Katik, Suami Saya, Membidik, Menyeberang, Imah Hamil, Sandiwara Hang Tuah, Aduhai Dirham, Kubur Mawar, Tidak, Menyanyi, Sang Mulut, Mak We Pulang, Batam Dilanggar Todak, dan Ketika Gamelan Berbunyi adalah judul-judul yang terdapat dalam buku kumpulan TIJ ini.
Sebagai judul buku, “Sandiwara Hang Tuah” menjadi menarik untuk dikupas sesuai dengan konteks Riau, di mana karya ini dihasilkan. Bukankah karya sastra merupakan representasi masyarakat di mana karya itu dihasilkan? Ditambah lagi, Riau yang dikenal dengan kekayaan alam, namun masyarakatnya hidup dalam kemiskinan dan kesetiaan masih tetap dipelihara oleh orang Riau.
Dalam cerpen ini, Jali kemasukan tokoh Hang Tuah yang diperankannya pada pementasan sandiwara yang digelar dua hari lalu. Hal ini merisaukan Rapeah, istri Jali. Disebabkan Jali kemasukan tokoh Hang Tuah, membuat kehidupan keluarga ini bertambah susah, disebabkan Jali tidak turun ke laut menangkap ikan. Kedua anak mereka sudah merengek kelaparan. Rapeah memintak pertanggungjawaban Ramli sebagai pimpinan kelompok sandiwara ini yang telah mengajak suaminya ikut dalam lakon dan berperan sebagai Hang Tuah.
Kepanikan Rapeah menjadi-jadi, ketika Bomo Kamis tak mampu memulihkan suaminya. Padahal menurut Ramli sebelum pergelaran dimulai segala ikhtiar telah dilakukan untuk menjaga hal-hal yang tidak-tidak terjadi. Namun hal ini tidak membuahkan hasil, sehingga Jali kemasukan tokoh Hang Tuah selama dua hari.
Ada kalimat yang menegaskan bahwa kesetiaan yang dilakukan bukan pengabdian kepada Sultan, tapi untuk kerajaan Melaka yang melompat dari mulut Jali kemasukan Hang Tuah.
“Pertama-tama hamba tidak bermaksud memperbaiki kekeliruan orang sekarang terhadap hamba. Hamba tahu hamba kini disebut bajingan, terlalu setia kepada Sultan sehingga sanggup membunuh Hang Jebat, padahal Adinda Jebat membela hamba. Banyak lagi persoalan lain yang perlu hamba luruskan. Cuma patutlah hamba ingatkan dulu, hamba sama sekali tidak pernah mengatakan dan berbuat bahwa hamba hanya patuh dengan Sultan. Yang hamba sebutkan adalah bahwa hamba hanya bertuan kepada Sultan Melaka dan itu hendaknya diartikan bahwa hamba bertuan kepada sesuatu lembaga pemerintahan yang sah” (dialog Jali yang kemasukan Hang Tuah, hal 70).
Dari kalimat ini, Hang Tuah melalui Jali menegaskan bahwa apa yang dilakukan adalah menjulang negara sebagai warga negera yang baik. Kesetiaan Hang Tuah memang membuahkan berbagai tafsiran, namun tetaplah mempersulit posisi Hang Tuah. Bahkan Hang Tuahlah yang dicap tidak pandai menjaga kesetiaan kepada saudaranya, Hang Jebat yang membelanya.
Kemasukan Jali menjadi Hang Tuah, membuka tafsiran baru pula terhadap cerpen ini. Hang Tuah sebagai simbol kesetiaan yang melekat ke Jali, melahirkan penderitaan bagi Rapeah dan kedua anaknya. Jali tidak bekerja, sementara kedua anaknya dilanda kelaparan. Peristiwa-peristiwa kesusahan disebabkan Jali kemasukan Hang Tuah mempertegaskan bahwa kesetiaan kepada pimpinan yang zalim menghasilkan penderitaan berturut-turut.
Kepanikan Rapeah yang juga diikuti kepanikan Ramli, semakin menjadi-jadi, ketika tokoh-tokoh lain dalam cerpen ini juga kemasukan tokoh-tokoh masa lalu. Tokoh-tokoh yang mereka perankan dalam pementasan “Sandiwara Hang Tuah”. Sulaiman yang berperan sebagai Hang Jebat kemasukan dan mengaku kesalahannya sehingga terjadi peristiwa Hang Tuah membunuh dirinya. Begitu juga Katik yang berperan sebagai tokoh Patih Karma Wijaya mengaku salah sambil mencium kaki Rajab yang berperan sebagai Sultan. Semua tokoh yang ikut berlakon Sandiwara Hang Tuah kemasukan.
Melihat keadaan ini, Rapeah semakin risau dan Bomo Kamis, Ramli hanya mampu memperhatikan ‘lakon’ ini dengan tatapan kosong. Mereka benar-benar tak mampu mau berbuat apa lagi.
“Itu semua bukan masalah lagi, kita menghadapi masalah besar yang lebih lain,” sambung Rajab. “Kita sudah bertemu di sini, di sejarah yang lain.” (dialog Rajab kemasukan tokoh Sultan, hal 72).
Cerpen ini ditutup dengan dialog singkat Gayah sebagai sri panggung bangsawan yang diminta pendatanya oleh Rapeah tentang keadaan ini. “Entahlah…” Cuma kata itu melompat dari mulut Gayah. Pasrah dan tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi.
Tentu saja, cerpen ini memiliki otonom sendiri dalam menggelarkan kisahnya. Namun demikian, pembaca memiliki wewenang pula manafsirkan dan mengaitkan cerpen tersebut dengan segala kondisi di Riau ini. Kesetiaan dan kepasrahan akhirnya dapat dikaitkan dengan kondisi masyarakat Riau pada hari ini. Riau yang kaya, namun tak mampu menciptakan kesejahteraan masyarakatnya disebabkan orang Riau terlalu setia dan pasrah menghadapi kemelaratan ini.
Hal ini dapat juga dikaitkan dengan tidak munculnya tokoh-tokoh Riau yang berani menyuarakan dan melawan kekuasaan yang lebih tinggi negara ini. Seperti Hikayat Hang Tuah, sang pemberani, Hang Jebat, pembela kebenaran juga harus binasa di tangan orang yang dibelanya, yaitu Hang Tuah.
Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Unilak