RiauKepri.com, PEKANBARU- Penulisan sejarah nasional idealnya diserahkan kepada daerah. Pasalnya, konstruksi kebangsaan Indonesia lahir dari semangat desentralisasi, akal budi yang menyatu dari berbagai penjuru nusantara. Dengan pendekatan ini, sejarah tak lagi tercecer dan bisa ditulis lebih utuh dari akar budayanya.
Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian Lembaga Adat Melayu Riau (DPH LAMR) Provinsi Riau, Datuk Seri H. Taufik Ikram Jamil, Rabu (28/5/2025), menanggapi rencana Kementerian Kebudayaan yang akan meluncurkan penulisan ulang sejarah nasional pada Agustus mendatang.
Isu penulisan ulang sejarah nasional memang telah berulang kali disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, termasuk dalam rapat bersama Komisi X DPR RI awal pekan ini.
Menurut Datuk Seri Taufik, pendekatan sejarah nasional selama ini terlalu berpusat di Jakarta dan kurang menggali narasi dari daerah. “Sejarah kita sering dilihat dari sudut pandang pusat dengan pendekatan geopolitik modern, padahal yang lebih tepat adalah pendekatan geobudaya,” ungkap Datuk Seri Taufik.
Riau, misalnya, punya banyak catatan penting yang nyaris tak tersentuh dalam sejarah nasional. Pada abad ke-15 saja, wilayah ini sudah berkali-kali melakukan perlawanan terhadap penjajahan Eropa. Bahkan di masa agresi militer kedua, lebih dari 2.000 warga Riau menjadi korban pembantaian akibat konflik yang dipicu perebutan ladang minyak.
Belum lagi peristiwa diplomatik besar, di daerah ini pernah terjadi pertemuan tiga negara dalam upaya mendamaikan Indonesia dan Belanda. Bahkan menurut riset UGM tahun 2019, peradaban di wilayah ini telah ada sejak 10.000 hingga 400.000 SM.
“Semua itu sering kali luput dari narasi nasional. Padahal jika ditulis oleh daerahnya sendiri, kisah-kisah seperti ini bisa diangkat lebih utuh dan kontekstual,” ujar Datuk Seri Taufik.
Ia mencontohkan serangan Siak dan Bengkalis ke Melaka tahun 1512. Menurutnya, peristiwa tersebut seharusnya tidak dibaca dengan kacamata nasionalisme modern, tetapi dalam kerangka sejarah kemaharajaan Melayu.
Datuk Seri Taufik menyarankan agar Kementerian Kebudayaan tidak mengambil alih seluruh proses penulisan sejarah, melainkan berperan sebagai fasilitator dan koordinator nasional. Pemerintah bisa memberikan kerangka penulisan, sistem pengawasan, dan mekanisme penyelarasan antar daerah.
“Barulah itu sejalan dengan semangat hidup berbangsa dalam negara kesatuan yang menghargai keragaman dan akar sejarah lokal,” ujar Datuk Seri Taufik. (RK3)