RiauKepri.com, PEKANBARU – Di tengah riuh sorak-sorai penonton, puluhan lelaki berpakaian seragam warna-warni mendayung serempak dalam perahu sepanjang 35 meter. Gerakan mereka tak hanya seirama, tapi nyaris teaterikal. Satu penari berdiri di haluan, seolah menepuk udara di celah ketiak kiri dan ke kanan, memutar tangan, menggulung dan mengayun seirama. Dialah Togak Luan, bocah Pacu Jalur yang kini mendunia karena videonya viral di media sosial dan disebut sebagai “aura farming”.
Di balik viralnya tradisi Pacu Jalur dari Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, ada perjalanan panjang dan sakral yang tak banyak diketahui publik. “Pembuatan satu jalur itu bisa makan waktu sampai dua bulan. Dan itu belum termasuk pencarian kayunya ke rimba,” kata Mahviyen Trikon Putra, salah satu praktisi Pacu Jalur dari Jalur Raje Bujang, Ahad (6/7/2025).
Kayu dari Dalam Rimba
Membangun satu perahu jalur bukan sekadar urusan teknis. Ini dimulai dari musyawarah adat, pencarian pohon di hutan belantara, hingga ritual penumbangan kayu. Kayu yang dipilih pun tak sembarangan, harus dari jenis meranti, kuras, marsawah, atau benio, dan harus memenuhi syarat panjang 30-35 meter dengan diameter 6-10 hasta.
“Kadang untuk cari satu batang kayu bisa butuh berhari-hari di rimba,” ujar Mahviyen.
Perjalanan dilakukan dengan kendaraan sejauh puluhan kilometer, lalu dilanjutkan berjalan kaki hingga setengah hari menembus bukit, lembah, dan sungai.
Sebelum ditebang, pohon yang terpilih harus ‘minta izin’ pada alam. Seekor ayam jantan disembelih di pangkal kayu oleh bemo. Doa dan ritual keselamatan mengiringi penumbangan. “Kami percaya, pohon itu punya penjaga. Jadi harus diberi tahu sebelum ditebang,” katanya.
Ritual, Mistis, dan Nama Jalur
Kadang, prosesi penumbangan tidak selalu mulus. Mahviyen menceritakan pengalaman kelompok dari Desa Pangean yang menemukan seekor lipan raksasa di pangkal kayu usai ditebang. “Mereka menamai jalurnya Siposan Rimbo. Ternyata sering juara. Sampai dijuluki Jenderal Bintang Empat,” kenangnya.
Ada juga kayu yang mengucurkan air begitu ditebang, atau muncul angin kencang tiba-tiba. “Itu tanda-tanda dari alam. Ada kalanya kami mundur, ada kalanya lanjut setelah ritual tambahan.”
Biaya dan Swadaya
Setelah ditebang, kayu dibawa ke desa, dulu dengan tenaga manusia, sekarang dibantu alat berat. Biaya penebangan dan pengangkutan bisa mencapai Rp80 juta, sedangkan ongkos tukang dan perlengkapan sekitar Rp70 juta lagi. Totalnya? Sekitar Rp150 juta per jalur. Sebagian besar biaya ditanggung masyarakat secara gotong royong, dibantu pemerintah dan donatur.
Jalur yang selesai dibuat disimpan dalam kandang jalur, digantung agar tak bersentuhan langsung dengan tanah. Umurnya bisa puluhan tahun jika dirawat baik.
Tradisi yang Membumi, Mendunia
Pacu Jalur bukan sekadar perlombaan mendayung. Ini adalah warisan budaya Melayu Riau yang menggabungkan keahlian, gotong royong, mistisisme, dan identitas. Kini, tradisi ini menemukan ruang baru dalam bentuk viralitas yang melampaui batas-batas lokal.
Di media sosial, gerakan Togak Luan kini diparodikan jutaan kali. Netizen menyebutnya “aura farming” sebuah metafora spiritual sekaligus humoris dari semangat mendayung dan menari.
Mahviyen tersenyum ketika kami tanyakan soal istilah itu. “Lucu juga. Tapi senang, dunia jadi tahu tentang Pacu Jalur,” ujarnya.
Iven Pacu Jalur Kuansing tahun ini akan digelar pada 20-25 Agustus 2025. Di sanalah, jalur-jalur sakti dari berbagai desa akan kembali berpacu. Diiringi riuh sorak, dentang kompang, dan tentu saja, lenggak-lenggok si Togak Luan. Aura mereka kini mendunia, tapi akar mereka tetap tertanam dalam rimba dan budaya yang tak lekang zaman. Tradisi boleh ditiru, tapi jiwa dan ritusnya tetap milik Riau. (RK1)
Editor: Dana Asmara