RiauKepri.com, PERAK– Di balik gemerlap lampu panggung Auditorium JKKN Negeri Perak, sekelompok mahasiswa dari Riau melangkah dengan penuh percaya diri. Busana kerajaan yang mereka kenakan bukan sekadar kostum, ia adalah warisan, identitas, dan kebanggaan yang mereka bawa dari tanah Melayu ke negeri seberang.
Mereka adalah delegasi Sanggar Latah Tuah, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seni dari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau. Di ajang Majelis Simposium Bangsawan Nusantara yang ditaja oleh Waris Moraza Negeri Perak, 20 mahasiswa ini membawakan musikal fragmen berjudul Mahkota Sultan, sebuah pertunjukan berdurasi 15 menit yang menelusuri jejak sejarah dan kebijaksanaan Sultan Syarif Kasim II, tokoh penting dari Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Di balik nama itu, tersimpan semangat yang jauh lebih besar, tekad generasi muda untuk menjaga dan menghidupkan kembali warisan Melayu yang perlahan dilupakan.
Sejarah, Menggetarkan
Pertunjukan Mahkota Sultan bukan hanya sajian artistik. Ia adalah kisah tentang seorang Sultan yang dengan kebesaran hatinya menyerahkan 13 juta gulden emas demi kemerdekaan Indonesia. Dalam gerak tari, syair penuh makna, dan dialog berbahasa Melayu yang puitis, para mahasiswa menghadirkan kembali napas patriotisme dan kearifan lokal yang menggetarkan penonton dari berbagai negara, Malaysia, Brunei, Singapura, hingga tanah air sendiri.
“Mahkota Sultan bukan sekadar tontonan,” ujar Muhammad Reza Akmal, S.Psi., pembina teknis Sanggar Latah Tuah.
“Ini adalah cara kami mendekatkan sejarah kepada generasi muda. Bahwa Melayu bukan hanya masa lalu, tapi identitas yang harus terus dihidupkan,” katanya.
Sebagai pendidik sekaligus seniman, Reza tak hanya membimbing anak-anak didiknya dalam latihan, tetapi juga menanamkan bahwa setiap langkah di atas panggung adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur.
Panggung Internasional
Bagi banyak anggota Sanggar Latah Tuah, ini adalah pengalaman pertama mereka tampil di luar negeri. Tak sedikit dari mereka yang berasal dari desa-desa kecil di Riau, yang tumbuh besar dengan cerita-cerita orang tua tentang kemegahan budaya Melayu. Kini, mereka menjadi pelaku utama yang mempersembahkan cerita itu kembali, bukan di ruang kelas, tetapi di panggung internasional.
Tantangan yang mereka hadapi pun tidak kecil. Persiapan berbulan-bulan, latihan yang melelahkan di sela-sela kuliah, hingga keterbatasan biaya, semua dilalui dengan semangat gotong-royong. Tapi bagi mereka, semua itu terbayar lunas ketika tepuk tangan membahana setelah tirai ditutup.
Warisan tak Boleh Mati
Di tengah gempuran budaya populer, seni bangsawan kerap dianggap kuno dan tertinggal. Namun pertunjukan Mahkota Sultan justru menunjukkan sebaliknya, bahwa seni tradisi ini bisa tampil memukau dan relevan, asal disajikan dengan hati.
Datin Shahnoor Zahurin Mohd Haslan, tokoh budaya dan sutradara Bangsawan Beting Beras Basah, pun tak ragu memberi pujian. “Kehadiran Mahkota Sultan memperlihatkan kebanggaan sejarah dan kekayaan seni Melayu Riau. Ini bukan hanya pertunjukan, ini adalah ikatan emosional serumpun,” katanya.
Lebih dari sekadar pertukaran budaya, acara ini menjadi pengingat bahwa di setiap fragmen seni, ada jati diri yang diperjuangkan. Ada narasi sejarah yang dibisikkan kepada generasi berikutnya.
Riau, Rumah Melayu
Sanggar Latah Tuah bukan sekadar UKM kampus. Mereka adalah wajah muda dari sebuah provinsi yang sarat tradisi. Lewat pertunjukan Mahkota Sultan, mereka menyuarakan harapan yang besar, agar Riau dikenali dunia bukan hanya karena sumber daya alamnya, tapi karena kekayaan budayanya.
“Bangsawan dan musikal Melayu bisa jadi kekuatan diplomasi budaya Nusantara,” tegas Reza. “Dan itu bisa dimulai dari mahasiswa.”
Dari Perak, mereka pulang ke Riau dengan kepala tegak. Tak hanya membawa pengalaman, tapi juga misi: menjaga agar mahkota warisan itu tetap bersinar, meski zaman terus berganti. (RK1)