Menu

Mode Gelap
Prakiraan Cuaca Wilayah Kepulauan Riau: Sabtu 1 November 2025 – Potensi Hujan Singkat Di Pagi dan Siang, Malam Cerah Dorong Etika Riset di Era Digital, Uniba dan Kemenristek Bahas Integritas Publikasi Ilmiah Kepri Perkuat Benteng Anti-TPPO: Polda dan Pemprov Satukan Langkah Awasi Jalur Migran Ilegal Peringati HUT ke-25, DPRD Kota Batam Gelar Upacara Senyum di Tengah Mahal Harga Cabai: Cerita Marawiah Dapat Bantuan Beras di Padang Mutung Obligasi Indonesia di Tengah Dinamika Pasar Global

Minda

Di mana Pemuda Kepri saat Sumpah Pemuda Diikrarkan Tahun 1928?

badge-check


					Ramon Damora, Komisioner KPID Kepri. F: Dok Perbesar

Ramon Damora, Komisioner KPID Kepri. F: Dok

KETIKA para pemuda dari berbagai pelosok Hindia berkumpul di Batavia pada 28 Oktober 1928 dan mengikrarkan Sumpah Pemuda, sejarah mencatatnya sebagai tonggak lahirnya kesadaran kebangsaan Indonesia. Namun, dalam arak-arakan nama organisasi pemuda yang hadir; Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumatra Bond, tidak terdengar gaung yang secara jelas mengatasnamakan pemuda Melayu Kepulauan Riau.

Kemana mereka saat itu? Apakah Kepulauan Riau absen dari proses kebangsaan? Ataukah ada lapis sejarah lain yang tak tercatat dalam narasi arus utama?

Sumpah Pemuda tumbuh dari pergerakan kaum terpelajar yang mengenyam pendidikan Barat di kota-kota kolonial, terutama Batavia dan Bandung. Mereka hidup dalam arus modernisme dan pergumulan nasionalisme yang sedang dirumuskan. Perkumpulan-perkumpulan pemuda itu bukan setakat organisasi sosial, melainkan laboratorium ide, tempat gagasan “bangsa” hendak dikerjakan.

Sementara itu, Kepulauan Riau berada dalam gelanggang sejarah yang berbeda. Pada 1905 dan 1911, Kesultanan Riau-Lingga dinetralkan oleh pemerintah kolonial, suatu pukulan identitas yang membuat ruang politik elite Melayu terdesak. Namun, jauh sebelum itu Pulau Penyengat telah menjadi pusat lahirnya bahasa Melayu modern. Di sana, Raja Ali Haji menata tata bahasa, menulis syair-syair hikmah, dan menanamkan asas adab sebagai pondasi kebudayaan.

Tatkala Indonesia kelak menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, pondasi bahasa itu sesungguhnya telah selesai dikerjakan di Penyengat sekitar enam dekade sebelumnya. Karena itu, ketiadaan “pemuda Melayu Riau” dalam panggung Sumpah Pemuda bukanlah tanda ketertinggalan, melainkan perbedaan fase sejarah. Pemuda di Batavia sedang mencari jawaban “siapa kita sebagai bangsa?”, sementara Kepulauan Riau telah lama menghidupi jawabannya dalam bentuk kebudayaan: kita adalah bangsa berbahasa Melayu, beradab Melayu, bersusastera Melayu.

Pemuda Kepulauan Riau bergerak melalui jalur serumpun yang tidak tercatat dalam kronik Kongres Pemuda. Banyak pelajar Riau pada awal abad ke-20 tidak menuju Batavia, tetapi berlayar ke Singapura dan Johor, belajar di madrasah-madrasah reformis, membaca karya pembaharuan Melayu, bersilang wacana dengan dunia intelektual Asia Tenggara. Sebagian lain yang bersekolah di Sumatera dan Jawa melebur ke dalam payung Jong Sumatera Bond, sehingga identitas “Melayu Riau” menyatu dalam narasi Sumatera yang kemudian didominasi suara Minangkabau dan Sumatera daratan.

Jejak itu ada, namun tidak tampil sebagai bendera. Seperti sering terjadi, sejarah memilih mengangkat yang paling lantang berbicara, bukan yang paling dahulu bekerja. Sementara para pemuda 1928 bersumpah menjunjung bahasa persatuan, Kepulauan Riau telah lebih dulu membangun rumah bahasa itu.

Maka tidak tepat jika dikatakan bahwa pemuda Kepulauan Riau absen dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Yang lebih mendekati kenyataan adalah bahwa Riau berada pada panggung lain dalam peta perjalanan kebangsaan. Ia bukan gemuruh podium, akan tetapi pondasi yang hening. Ia tidak tampil sebagai perwakilan resmi dalam kongres, namun warisannya menjadi inti dari sumpah itu sendiri.

Pertanyaan yang lebih penting tentu bukan lagi tentang masa lalu. Pertanyaan itu adalah tentang hari ini. Jika dahulu Penyengat menjadi lampu budi bahasa, jika dahulu pemuda Riau menyeberangi selat untuk menimba ilmu dan memperluas cakrawala pemikiran, mengapa gaung pemuda Kepri kini nyaris tak terdengar dalam percakapan kebangsaan?

Apakah kejernihan telah berubah menjadi keheningan bisu tak bermaya? Apakah dinamika yang dulu melahirkan bahasa, kini terhenti dalam rutinitas tanpa arah? Di sinilah puisi Sutardji Calzoum Bachri mengetuk pintu sejarah: Apa gunanya merdeka, kalau tak bertelur? Apa gunanya bebas, kalau tak menetas? Wahai bangsaku, wahai Pemuda, mana telurmu?

Merdeka bukan keadaan yang diterima. Merdeka ialah tanggung jawab untuk melahirkan makna baru. Setiap generasi pemuda harus menetas kembali, menemukan bentuk dirinya, mengerjakan tugas zamannya, dan memberi sumbangannya bagi bangsa.

Wahai pemuda Kepri, di manakah telur keberanianmu hari ini? (ramon damora)

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Natunaloka, Cahaya Inklusi dari Perbatasan

27 Oktober 2025 - 20:05 WIB

Penerimaan PI dari Wilayah Kerja Rokan Tahun 2025

27 Oktober 2025 - 14:55 WIB

Pertamina Hulu Rokan: Riau Diperah, tak Diberi Kehidupan?

27 Oktober 2025 - 11:47 WIB

Riau Butuh Pemimpin yang Satu Arah, Bukan Satu Perahu tapi Berlayar Sendiri-sendiri

26 Oktober 2025 - 08:32 WIB

Kepercayaan Lenyap

25 Oktober 2025 - 13:25 WIB

Trending di Minda