DUA tahun lalu saya sempat bergurau dengan Bupati Kuantan Singingi, Dr. H. Suhardiman Amby, M.M. Kalau saya ke kantor bupati saya ingin duduk di kursi kerja bupati. Ingin merasakan bagaimana rasanya.
Ups…. ups… ups….
14 Oktober 2025 gurauan itu terbukti. Saya betul-betul duduk di kursi yang selama ini diduduki sang bupati.
Bagaimana ini bisa terjadi? Saya diajak sang bupati bertandang ke kantornya di kompleks perkantoran bupati di Sungai Jering. Sesampai di kantor, saya disuruh sang bupati duduk di kursi kerjanya.
Semula saya menolak karena saya “takut” dan merasa tak pantas duduk di kursi terhormat tersebut. Lagi pula waktu itu saya pakai kaus oblong. Pokoknya tidak pantaslah….
Spontan sang bupati menjawab, “Ini ada jacket. Tolong pakai. Duduklah biar saya foto,” ujar sang bupati tersenyum.
Lalu saya duduk di kursi kerja sang bupati. Saya dipotret oleh sang bupati melalui handphone androidnya.
Jepret… jepret… jepret. Sang bupati menjepret saya cukup banyak. Saya antara percaya dan tidak bisa duduk di kursi kerja bupati yang saya kenal sejak 35 tahun silam.
Ketika bangkit dari kursi kerja sang bupati, saya nyeletuk, “Yang duduk di kursi ini jangan sampai lupa kepada orang yang mendudukkannya di kursi ini.”
Sang bupati tersenyum. Lalu menjawab, “Insya Allah. Saya tidak akan melupakan orang yang mengantarkan saya duduk di kursi ini,” katanya sembari memegang kursi yang biasa dia duduki yang hari itu saya duduki.
Saya menyebut “kursi” Bupati Kuantan Singingi adalah “kursi terpanas” di Riau, bahkan mungkin di Indonesia. Tak perlu saya jelaskan maksud kalimat satire tersebut. Semuanya sudah pada tau tanpa harus dijelaskan.
Sang bupati tersenyum mendengar ucapan saya. Sebuah senyuman penuh makna. “Tak berubah, dari dulu sampai sekarang selalu menyampaikan kalimat bersayap,” katanya membatin.
Saya terheran-heran sekaligus bingung melihat ruang kerja sang bupati. Terkesan sederhana. Tidak seperti ruangan kerja bupati atau wali kota yang pernah saya masuki.
Jelek-jelek begini saya pernah bekerja di bagian Humas dan Protokol. Dan, saya banyak tahu kondisi ruangan kerja kepala daerah (gubernur, wali kota dan bupati) yang saya masuki.
Cat di ruangan kantor bupati itu sudah kusam. Kursi dan meja di ruang tamu alamaaaak sederhananya. Saya mengira meja dan kursi tamu itu terbuat dari kayu jati atau mahoni. Tapi….?
Ketika itu saya tanyakan kenapa ruang kerja sesederhana itu? Sang bupati menjawab, “Biarlah dulu seperti ini. Masih banyak jalan rusak yang harus diperbaiki.”
Saya tersenyum mendengarkan jawaban sang bupati. Saya sempat bertanya apakah ini ruang kerja bupati? Dia baru jujur mengakui: ruangan kerja bupati sebenarnya ada di ruangan itu, ” katanya menjawab sembari menunjuk ruang kerja bupati sebelum dirinya. Cukup nyaman dan megah.
Lalu kenapa dipindahkan? “Ruang kerja itu saya jadikan sebagai tempat rapat. Biarlah saya di ruangan kerja yang sederhana ini. Yang penting nyaman,” katanya memberi alasan.
Di ruangan kerja bupati selain ada meja dan kursi tamu ada tempat salat. Di sampingnya ada ruang tamu kecil tempat makan sang bupati dan kamar mandi. Tak ada kemewahan di situ.
Saya berani menyebut inilah ruangan kerja bupati paling sederhana di Indonesia.
Saya memahami kesederhanaan bupati dan makna apa di balik itu. Cuma saya berharap OPD terkait berpikir bagaimanapun ruang kerja itu kurang refresentatif.
Penulis: Sahabat Jang Itam: Tanjungpinang, 30 0ktober 2025

 
				
 
			 
                 
                 
                 
                




 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
