AKADEMI Pemerintah Dalam Negeri disingkat APDN “tempoe doeloe” sering diplesetkan “sekolah camat.” Kalimat itu bukan tanpa dasar. Sebagian besar alumni akademi pada waktu itu menjadi lurah dan camat di seluruh pelosok Indonesia.
Setelah era reformasi bergulir 1998 terjadi perubahan besar. Jabatan lurah dan camat tergantung siapa pemenang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Tak ayal sekarang kita melihat ada guru yang jadi lurah atau camat karena kedekatan keluarga atau karena tim sukses kepala daerah terpilih.
Ironis memang, tapi nak cakap. Jabatan yang dulu sangat disegani karena dipegang oleh orang yang kompeten, sekarang jadi malah bahan guruan dan olok-olokan sebagian orang. Sebut saja namanya “oknum” biar tidak ada yang tersinggung.
Dalam perjalanannya “sekolah camat” Riau di Pekanbaru itu pernah dipimpin Minzar Rasyid – Putra Kuantan Singingi kelahiran Teratak Air Hitam, Kecamatan Sentajo Raya, 30 Januari 1941. Dia adalah Direktur APDN Riau yang terakhir sebelum dilebur menjadi APDN Nasional beberapa tahun setelah baru STPDN dengan catatan IIP Jakarta masih ada.
Setelah dirubah nomenklaturnya menjadi IPDN otomatis IIP juga bubar IIP + STPDN menjadi IPDN dan kampus IIP menjadi kampus Program Magister
jadi IPDN Jatinangor, Sumedang tahun 1988.
Berpindah-pindah
SEBELUM nikah dengan Baik Hati, Rasyid sempat nikah dengan Jawek Binti Saun dan punya anak Asmawati. Pernikahan itu tak berlangsung lama mereka cerai.
Kemudian Rasyid nikah lagi dengan Baik Hati dan punya anak Minzar. Namun pernikahan ini tak berlangsung lama karena Rasyid meninggal dunia.
Baik Hati kemudian nikah dengan Dayung asal Teratak. Pasangan ini pindah ke Sungai Empat, Kecamatan Gaung Anak Serka, Indragiri Hilir buat kebun kelapa. Dari pernikahan keduanya ini Baik Hati memiliki lima anak yakni: Nurcaya, Zanzibar, Sunarya, Anisman, dan Usman.
Mizar sempat berpindah-pindah sekolah. Pertama, di SR Sentajo kemudian pindah ke SR Baserah (1954-1968). Di Baserah, dia tinggal dengan kakak kandung ibunya (Julai) dan Abang sepupunya (Marhimin) dan juga pamannya (Hamzah Umar). Kelak rumah di Baserah dijual ke keluarga Rustam S. Abrus.
Kemudian dari Baserah, Minzar pindah ke Madrasah Mualimin Muhammadiyah Taluk Kuantan pada 1955. Ia ikut pamannya yang pindah ke Madrasah Mualimin Muhammadiyah 4 tahun Taluk Kuantan dan tamat tahun 1957.
Lulus Mualimin Talukkuantan, Minzar melanjutkan pendidikan ke SMA Muhammadiyah Jokyakarta (1958-1960). Kemudian lanjut ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (1961-1967).
Di Kota Pelajar Yogyakarta itulah Minzar bersama Yacob Ali – teman seperjuangannya dari Mualimin Muhammadiyah Taluk Kuantan sampai SMA Muhammadiyah Yogyakarta dan berlanjut ke Fak Hukum UGM.
Kemudian teman lainnya dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta asal Riau Azali Djohan, Fadlah Sulaiman, dan Farid Kasmy.
Kelak teman-temannya ini mewarnai perjalanan Provinsi Riau ketika mereka selesai kuliah. Yacob Ali jadi dosen Fakultas Sospol Universitas Riau, Pekanbaru. Sedangkan Azali Djohan dan Fadlah Sulaiman pernah jadi Bupati Bengkalis di periode yang berbeda.
Kuliah Minzar sempat terkendala karena situasi kacau. Puncaknya adalah pemberontakan G30S/PKI. Minzar waktu kuliah bergabung dengan HMI Yogyakarta. Dia pernah ditangkap oleh orang-orang yang berseberangan dengan HMI.
Minzar berhasil selamat dari penangkapan saat mati lampu. Dia lari di lorong-lorong yang sempit hingga menyelamatkan diri.
Kembali ke Riau
SELESAI kuliah Minzar pulang ke Riau dan bekerja di Finec/Badan Usaha Cas Daerah (BUCD). Ia mengikuti sepupunya Marhamin yang duluan bergabung dengan badan usaha milik Pemda Riau yang bergerak di bidang ekonomi dan pembangunan. Perusahaan itu dipimpin Rivaie Rachman tersebut.
Pada pada 20 Desember 1968 Minzar menikah dengan gadis pilihan orang tuanya Warnis Yusty asal Seberang Taluk, Kecamatan Kuantan Tengah. Sang istri merupakan anak dari M. Yusuf dan Timarija. Ayah Wanis (M. Yusuf) asal Sentajo adalah pedagang dan punya kios di Benai.
Warnis Yusty sehari-hari mengajar Bahasa Indonesia di SMP Negeri IV Koto Benai. Punya saudara kandung Agusalim, Yasran Yusty, dan Eddy Yusty. Dari pernikahan itu Minzar punya anak laki-laki kembar yang lahir pada 19 71 di Pekanbaru.
Sayang pada usia 15 hari kedua anak lelakinya itu meninggal dunia dunia dan dikebumikan di Jalan Kuini/ Belakang Bioskop Tuah Sakti Jalan Nangka Nangka, Pekanbaru.
Waktu bertugas sebagai Sekwan DPRD Dati II Indragiri Hilir, Minzar mengangkat seorang anak perempuan bernama Surya Nengsih. Kemudian ketika pindah ke Pekanbaru, ia kembali mengangkat seorang anak perempuan bernama Ana.
Keduanya kini bermukim di Jawa mengikuti suaminya masing-masing. Dan secara berkala mereka tetap pulang ke Pekanbaru menengok rumah kediaman orang tuanya Komplek Nyamuk Jalan Lingga Nomor 02 Kelurahan Simpang Empat, Kecamatan Pekanbaru Kota, Riau.
Pekerjaan
KARIER Minzar sebagai pamong cukup panjang dan berliku. Dia pernah jadi Kepala Biro DPRD Provinsi Riau yang waktu nomenklaturnya masih biro bukan Sekretaris Dewan (1970 – 1974). Kemudian Sekretaris DPRD Indragiri Hilir (1974 -1978), Kepala Biro Hukum (1979 – 1983), Kepala Biro Binsos, dan Kepala Biro Pemerintahan (1988 – 1993).
Saat menjabat Kepala Biro Pemerintahan Setda Provinsi Riau, Minzar termasuk seorang penggagas pemekaran Kecamatan Benai dari Kecamatan Kuantan Tengah. Saat hari terakhir penentuan lokasi ibu kota Kecamatan IV Koto Benai, dia minta masyarakat Benai mau mewakafkan tanahnya untuk pembangunan kantor camat.
“Kalau masyarakat Benai tak sanggup menyediakan tanah untuk lokasi kantor camat, Kenegerian Teratak Air Hitam telah menyediakan tanah siap dibangun,” ancam Minzar.
Mendengar ancaman ini tokoh masyarakat Benai Samad Thaha langsung menyediakan tanah lokasi kantor camat di Desa Benai Kecil. Pemarang lahan dilakukan oleh Asmadi Samad selalu Kadis PU Kabupaten Indragiri Hulu.
Sebenarnya usulan awal bukan namanya Kecamatan Benai tapi Kecamatan IV Koto Benai. Namun Bupati Kabupaten Indragiri Hulu Ruhiyat Syaifuddin kurang suka dengan nama Kecamatan IV Koto Benai karena terlalu panjang. “Cukup Kecamatan Benai saja,” usul Ruchiyat kala itu. Dan, nama kecamatan Benai dipakai hingga kini.
Minzar juga pernah jadi Sekwilda Dati II Bengkalis. Dia diangkat menjadi SK Nomor : 824.213.2-3966 tanggal 02 Nov 1993/Ess II.b yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri RI, Moch Yogie S.M. Tugasnya berakhir di APDN.
Batu Empedu
SEWAKTU menjabat Sekda Bengkalis Minsar pernah operasi batu empedu di RS Elisabeth Singapura. Setelah sembuh dia kembali bertugas Bengkalis.
Setelah enam bulan usai berobat di RS Elisabeth Singapura, penyakit Minzar kambuh lagi. Kali ini lebih parah. Dia tak bisa makan. Setelah berobat di RS Abdurrab, Pekanbaru dia diagnosis kena penyakit usus berlipat yang sudah membusuk.
Minzar dioperasi di RS Abdurrab, Pekanbaru pada 19 Feberuari 1995. Setelah operasi tidak sadarkan diri sampai meninggal pada 20 Februari 1995. Dia meninggal saat bulan Ramadhan dikebumikan di Jalan Harapan Raya, Tengkerang sekarang Tengkerang Timur.
Kesan
SALAH seorang ponakan Minzar, Rafles alias Oncol mengenang kejujuran pamannya. “Diketahui boleh, ditulis jangan. Rasanya tak perlu ditulis karena mereka juga sudah meninggal dunia. Tak elok membuka aib orang,” ujar Oncol.
Pengalaman yang tak akan dilupaka Oncol bersama pamannya itu saat menyopirinya pulang kampung. Pamannya itu sering berkata, “agak-agak la bao oto tu, Ncol. Kok manakiak takkan ado dapek oto macam iko go (hati-hati bawa mobil itu, Ncol. Kalau menorah karet tidak akan dapat mobil seperti ini,” tambah Oncol.
Itulah Minzar dimata Oncol. Sebenaranya dengan jabatan yang melekat pada dirinya, bisa saja pamannya itu melakukan hal-hal seperti pejabat lainnuya kalah itu. Tapi pamannya memilih hidup sederhana.
Seringkali Minzar memberikan nasehat kepada kami anak, ponakan dan cucunya. Jabatan itu amanah kapan saja bisa lepas diambil Yang Maha Kuasa. “Pegang dan jaga amanah itu dengan baik. Jangan sia-siakan sebelum amanah itu diambil-Nya,” ujar Oncol mengenang kembali kejujuran pamannya itu.
Itulah Minzar
Penulis: Sahabat Jang Itam







