RiauKepri.com, PEKANBARU— Aliansi Krisis Alam Riau (AKSARA) mendesak majelis hakim memanggil Paulina dan Muller Tampubolon sebagai saksi dalam perkara dugaan konflik agraria di Desa Tumang, Kabupaten Siak, yang melibatkan perusahaan kehutanan PT Seraya Sumber Lestari (SSL). Keduanya dianggap tidak memiliki legalitas namun terlibat aktif dalam proses pertemuan dengan kepala daerah.
Desakan itu muncul usai Ketua Majelis Hakim Dedy S.H., M.H. menyebut Paulina sebagai makelar saat sidang lanjutan perkara atas nama terdakwa Penghulu Tumang dkk, Kamis (16/10/2025) di PN Pekanbaru. Hakim menyatakan bahwa Paulina tidak terdaftar secara resmi di PT SSL, dan tidak berwenang mewakili perusahaan dalam pertemuan dengan Bupati Siak.
“Maka kalau ada nama Paulina atau siapapun, berarti dia makelar,” kata Ketua Majelis Hakim Dedy. Dalam sidang tersebut, hakim juga menyebut nama Muller Tampubolon, Ketua APHI Riau, yang mempertemukan pihak perusahaan dengan Bupati, sebagai pihak tanpa legal standing.
Sidang yang menggabungkan delapan nomor perkara itu menghadirkan langsung Bupati Siak Afni sebagai saksi. Ia hadir memenuhi panggilan pengadilan meski sebelumnya memiliki agenda dengan Wakil Menteri Dalam Negeri. Kehadiran Bupati diapresiasi AKSARA sebagai bentuk keberanian membela masyarakat Tumang.
Menurut Koordinator AKSARA, Rasid Jul, kehadiran Paulina dalam pertemuan dengan Bupati dan posisinya sebagai legal di 22 perusahaan kehutanan menunjukkan bahwa ia memiliki kuasa di luar kewenangannya. “Fakta bahwa ia bisa mengatur pertemuan dan mengklaim dekat dengan kepala daerah patut dicurigai sebagai bagian dari praktik korupsi kehutanan,” ujarnya.
AKSARA juga menyoroti sikap majelis hakim yang memuji legalitas PT SSL tanpa menggali lebih dalam proses penerbitan izinnya. Padahal, menurut data Senarai dan UPT KLHK Riau, lahan PT SSL berada di atas hutan rawa gambut dan sebagian besar kawasan diduga diperoleh melalui proses maladministrasi sejak awal.
Lebih lanjut, AKSARA menyebut jejak Paulina dan Direktur PT SSL Samuel Soengjadi telah terlibat dalam kasus korupsi kehutanan sebelumnya, termasuk dalam perkara yang menyeret mantan Bupati Siak Arwin AS. “Legalitas PT SSL tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelam korupsi kehutanan di Riau,” kata Rasid.
AKSARA juga mengkritik majelis hakim karena dianggap berpihak pada perusahaan. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan yang menyalahkan warga Tumang sebagai pihak yang menduduki lahan secara ilegal, serta sikap hakim yang memanggil direktur PT SSL untuk duduk di depan bersama Bupati di ruang sidang.
“Tugas hakim dalam perkara pidana adalah mencari kebenaran materiil, bukan jadi juru damai atau memberi tausiyah di ruang sidang,” tegas Rasid, menyayangkan sikap majelis yang dinilai melemahkan posisi masyarakat dalam konflik agraria.
Atas sejumlah kejanggalan itu, AKSARA mendesak KPK segera menetapkan Samuel Soengjadi dan Paulina sebagai tersangka atas dugaan keterlibatan mereka dalam korupsi kehutanan. AKSARA juga meminta Komisi Yudisial dan Bawas MA memeriksa majelis hakim yang dinilai melanggar kode etik.
Tak hanya itu, AKSARA juga meminta Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (Komjak RI) memeriksa penuntut umum dalam perkara ini karena dinilai berpihak pada perusahaan. “Kami khawatir ini membuka ruang bagi mafia peradilan,” kata Rasid.
Aliansi AKSARA beranggotakan Senarai, Sandi, dan Ara Sati Hakiki, yang selama ini aktif mengadvokasi keadilan sosial dan ekologis di Riau. Mereka berkomitmen terus mengawal kasus ini demi keadilan bagi masyarakat Tumang dan lingkungan hidup. (RK1/*)