Oleh Hang Kafrawi
Ramadhan telah pergi, meninggalkan jejak-jejak cahaya di hati yang terasah oleh lapar dan dahaga. Kini, kita berdiri di hamparan Syawal, menatap dunia yang sama, tetapi dengan jiwa yang seharusnya berbeda. Pertanyaannya, apakah semangat yang kita bangun selama Ramadhan masih menyala, atau justru padam bersama hilangnya tarawih dan tilawah?
Sebagai orang Melayu, kita mewarisi budaya yang kaya dengan nilai-nilai Islam. Sejarah membuktikan, etos kerja orang Melayu bukan sekadar tentang mencari nafkah, tetapi juga tentang marwah, harga diri, dan keberkahan. Orang-orang tua kita dahulu bekerja bukan hanya untuk menyambung hidup, tetapi untuk menjaga kehormatan, agar tak menjadi beban bagi orang lain, agar rezeki yang masuk ke rumah penuh keberkatan. Mereka bekerja dengan tangan sendiri, bukan dengan meminta-minta, karena mereka percaya, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Namun, kini zaman berubah. Dunia bergerak lebih cepat, dan kehidupan semakin sulit. Banyak orang Melayu yang mulai kehilangan jati diri, terjebak dalam kemalasan, atau lebih buruk, terbiasa dengan mentalitas instan, mahu kaya tanpa usaha, mahu berjaya tanpa kerja keras. Tidak sedikit pula yang pasrah dengan keadaan, meratap tanpa mencari jalan keluar. Padahal, dalam Islam, bekerja adalah ibadah.
Ramadhan seharusnya mengajarkan kita tentang pentingnya kerja keras dan kesabaran. Saat berpuasa, kita menahan lapar dan haus, namun tetap menjalankan aktivitas dengan penuh tanggung jawab. Maka, mengapa setelah Ramadhan, semangat itu harus luntur? Justru inilah saatnya kita membuktikan bahwa kita telah ditempa menjadi pribadi yang lebih tangguh.
Sebagai orang Melayu, kita harus kembali kepada akar budaya kita yang sejati: kerja keras, jujur, dan penuh tanggung jawab. Tengoklah sejarah nenek moyang kita, mereka berlayar menembus badai untuk menangkap ikan, bertani di tanah yang keras, mengajar dengan ilmu yang mereka punya. Mereka tidak mengeluh, tidak mencari jalan pintas, dan yang paling penting: mereka tidak menyerah.
Hari ini, tantangan kita berbeda. Kita hidup di era digital, di mana persaingan semakin ketat, dan dunia semakin tak kenal belas kasihan. Tapi prinsipnya tetap sama: kalau tidak bekerja keras, kita akan tergilas.
Setelah Ramadhan ini, marilah kita perbaharui niat dan semangat. Bekerja bukan hanya untuk sesuap nasi, tetapi untuk menjaga harga diri. Tidak hanya untuk mengisi perut, tetapi untuk mengangkat martabat. Tidak hanya untuk dunia, tetapi juga untuk akhirat. Bekerjalah dengan tekun, dengan jujur, dengan penuh dedikasi, karena setiap tetes keringat yang jatuh di jalan Allah akan menjadi saksi di hari kemudian.
Jangan biarkan semangat Ramadhan menguap begitu saja. Mari kita jadikan Syawal ini sebagai awal perjuangan baru. Orang Melayu harus bangkit! Jangan hanya jadi penonton di tanah sendiri. Bergeraklah, berkaryalah, berusahalah! Sebab tidak ada keberkahan bagi mereka yang berpangku tangan, dan tidak ada kemenangan bagi mereka yang menyerah sebelum bertarung.
Orang Melayu sejati tidak pernah menyerah dalam bekerja. Seberat apa pun kehidupan menekan, mereka tetap berdiri tegak, mengayuh biduk di lautan kehidupan yang penuh badai. Sejak dahulu, orang Melayu lebih memilih berladang di tanah yang keras, melaut di ombak yang ganas, atau merambah hutan belukar untuk mencari rezeki dibandingkan menengadahkan tangan meminta belas kasihan.
Orang Melayu tidak akan menjilat untuk mendapatkan tempat, tidak akan menggadaikan kehormatan demi dipandang tinggi, dan tidak akan mencari muka agar dikasihani. Kita punya marwah! Jika orang lain bisa sukses dengan kerja keras, mengapa kita harus tunduk dan berharap belas kasihan? Jika rezeki itu datang dari Allah, mengapa harus menggantungkan nasib pada manusia?
Dalam darah orang Melayu, tertanam rasa cinta yang dalam kepada tanah kelahiran. Meski banyak di antara mereka yang merantau jauh untuk menjemput rezeki, hati mereka tetap berpulang ke negeri sendiri. Sebagaimana petatah Melayu mengatakan: “Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik di negeri sendiri.”
Meski rezeki berhamburan di tempat lain, mereka tetap percaya bahwa tanah kelahiran adalah tempat untuk kembali, untuk mengabdi, dan untuk berbuat. Inilah karakter orang Melayu sejati, di manapun mereka berada, mereka tidak akan lupa pada asal-usulnya. Mereka akan kembali untuk membangun, untuk berkontribusi, dan untuk memastikan bahwa tanah mereka tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga ladang masa depan yang lebih gemilang.
Ada satu hal yang harus selalu diingat; orang Melayu harus tetap kompak, tidak mudah dipecahbelahkan oleh kepentingan sesaat. Perpecahan adalah awal kehancuran, dan banyak bangsa besar yang runtuh bukan karena musuh dari luar, tetapi karena perpecahan dari dalam.
Hari ini, kita melihat bagaimana kepentingan politik, ekonomi, dan sosial sering kali membuat orang Melayu terpecah, saling menjatuhkan, dan bahkan mengkhianati sesama hanya demi keuntungan sesaat. Padahal, landasan orang Melayu dalam bekerja bukan sekadar dunia, tetapi mengharapkan keridhoan Allah SWT. Jika kerja dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi, untuk kepuasan duniawi, maka keberkahan akan hilang. Tapi jika kerja dilakukan dengan niat yang lurus, untuk membangun, untuk memajukan, dan untuk meninggikan marwah umat, maka Allah sendiri yang akan memberikan keberkahan.
Kini saatnya orang Melayu berani menampakkan kesejatiannya untuk negeri ini! Tidak boleh lagi ada keraguan, tidak boleh lagi ada rasa malu untuk berbuat. Sejarah telah mencatat bagaimana leluhur kita berdiri gagah melawan penjajah, bagaimana nenek moyang kita membangun peradaban yang tinggi dengan keilmuan dan adab. Mengapa kita yang hidup hari ini harus merasa kecil dan ragu?
Orang Melayu harus berani berbicara, berani berkarya, dan berani bertindak! Tidak boleh lagi hanya menjadi penonton di negeri sendiri, tidak boleh hanya menjadi pengikut tanpa keberanian untuk memimpin. Kita punya warisan keilmuan, kita punya adat dan budaya yang luhur, kita punya agama yang menjadi cahaya kehidupan. Jangan sampai semua itu hanya menjadi kenangan, tetapi harus menjadi kekuatan untuk masa depan! Mari kita bekerja dengan penuh semangat, dengan keikhlasan, dengan keberanian, dan yang terpenting dengan niat mencari ridha Allah untuk Melayu yang bermarwah.
Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi, dosen Program Studi Sastra Indonesia, FIB UNILAK