RiauKepri.com, PEKANBARU– Tangis itu pecah pelan, dari seorang perempuan paruh baya yang berdiri di depan televisi di kamarnya. Di layar, tiga laki-laki berbaris mengenakan rompi oranye, tangan terborgol ke depan. Salah satunya, sosok yang dulu dielu-elukan saat kampanye delapan bulan lalu: Abdul Wahid, Gubernur Riau.
“Ya Allah, lagi-lagi Riau,” gumam perempuan itu lirih.
Perempuan itu menangis bukan karena Wahid, apalagi pada Pilkada serentak 2024 lalu dia terang-terangan mendukung pasangan calon lain, namun hatinya seperti tersayat sehingga tangis tak dapat dielak. Karena Riau, karena malu, wanita itu rela sebutir air matanya meleleh di pipi.
Pagi itu, di gedung Merah Putih KPK, wajah Riau kembali tercoreng. Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR M. Arief, dan tenaga ahli gubernur Dani resmi diperkenalkan ke publik sebagai tersangka. Konferensi pers yang digelar pimpinan KPK Johanes Tanak menjawab teka-teki yang sempat membuat masyarakat Riau gelisah terutama setelah sempat beredar kabar dari Ustaz Abdul Somad bahwa Wahid hanya dimintai keterangan.
Namun realitas berkata lain. KPK menjerat Wahid dengan dugaan korupsi “jatah preman” senilai Rp7 miliar, bagian dari pengelolaan anggaran Dinas PUPR-PKPP.
Tekanan dari Atas, Derita di Bawah
Di tengah defisit anggaran sebesar Rp3,5 triliun, beberapa Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Dinas PUPR terpaksa berutang ke bank, bahkan menggadaikan sertifikat rumah demi memenuhi “setoran” kepada gubernur.
“Ini menyedihkan. Saat keuangan daerah seret, justru bawahan dibebani permintaan uang,” ujar Asep Guntur Rahayu, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.
Kisah para bawahan itu menggambarkan wajah korupsi yang paling telanjang, bukan sekadar angka miliaran rupiah, tapi tentang manusia-manusia yang terjepit di antara loyalitas dan tekanan kekuasaan.
Salah seorang Kepala UPT mengaku, sejak awal 2025 mereka sudah diingatkan untuk “berpartisipasi” jika ingin tetap di jabatan. “Kami tahu risikonya. Tapi kalau tidak ikut, bisa dimutasi, bisa hancur karier,” ucapnya dalam suara serak.
Kutukan yang Berulang
Bagi warga Riau, berita ini bukan sekadar kabar baru melainkan bab lama yang terus diulang.
Saleh Djasit (2007), Rusli Zainal (2012), Annas Ma’mun (2014), dan kini Abdul Wahid (2025). Empat gubernur, empat kasus korupsi, empat kali harapan rakyat Riau runtuh.
“Apakah Riau ini kampungnya koruptor?” tanya seorang wartawan dalam konferensi pers KPK, menggambarkan frustrasi publik.
Pertanyaan itu menampar semua pihakseakan korupsi sudah menjadi “tradisi turun-temurun” di provinsi yang kaya sumber daya alam tapi miskin kejujuran.
Duri dalam Daging Politik
Tak hanya soal uang, kasus ini juga membuka luka politik lama. Hubungan Abdul Wahid dan wakilnya diketahui retak hanya dua bulan setelah pelantikan. Di media sosial, warga berspekulasi, apakah ada “durian runtuh” yang ikut mempercepat kejatuhan Wahid.
Ketika seorang wartawan menanyakan hal itu, apakah ia dijebak, Wahid hanya terdiam. Tatapannya tajam, namun kosong. Tak ada jawaban, hanya sunyi yang terasa berat.
Riau yang Letih
Bagi banyak warga, kasus ini bukan sekadar tentang pejabat yang tertangkap, tapi tentang kelelahan kolektif. Tentang janji-janji yang selalu sama: bersih, transparan, berintegritasnamun selalu kandas di tengah jalan.
Di sebuah warung kopi di Pekanbaru, seorang sopir truk berkata pelan, “Kami sudah tidak kaget. Tapi tetap sakit hati. Tiap kali ganti gubernur, yang berubah cuma wajahnya, bukan perilakunya.”
Riau seperti tak pernah sembuh dari lukanya sendiri. Setiap penangkapan gubernur menjadi headline nasional, tapi setelah itu? Tak ada perubahan yang benar-benar mengakar.
Harapan yang Masih Tersisa
KPK berulang kali menyebut perlunya pencegahan yang lebih sistematis di Riau. Bukan hanya penindakan, tapi perbaikan mental birokrasi, pendidikan antikorupsi, dan transparansi dalam penganggaran publik.
Namun bagi rakyat kecil, harapan itu sederhana: agar pejabatnya berhenti memeras, berhenti menjadikan kekuasaan sebagai jalan pintas untuk kaya.
Sementara di Gedung Merah Putih, tiga rompi oranye kembali berjalan melewati kamera wartawan. Di balik sorot lampu dan mikrofon, ada kisah getir tentang negeri kaya yang terus dikorupsi oleh pemimpinnya sendiri.
Di sudut-sudut Pekanbaru, rakyat hanya bisa bersungut, Kapan Riau punya pemimpin yang benar-benar tidak bisa dibeli? (RK1)







