Penyair Menggugat

Hang Kafrawi

Oleh Hang Kafrawi

Di tengah kegaduhan negeri ini disebabkan para elit pemegang kekuasaan memancang kehendak memperkokoh kekuasaan mereka, karya sastra dalam hal ini puisi harus hadir sebagai penggugat keadaan. Kata-kata dari penyair harus datang dengan segala kekuatan sebagai sumber energi bangsa ini. Kesadaran menjadi penting agar marwah bangsa ini tidak tergadai oleh kerakusan sekelompok orang yang mengatasnamakan rakyat.

Dunia ini tak pernah sunyi dari gelegar suara yang mengusik nurani. Penyair bukan sekadar pemanis majelis, bukan pula sekadar pemuja bulan dan bintang di langit malam. Ia adalah penggugat, sang pendebat zaman, yang menatap tajam ke dalam lubuk masyarakat. Apakah angin bertiup sekadar membelai, atau ia membawa pesan bagi mereka yang lena dalam buaian mimpi kosong?

Hari ini, kata-kata kehilangan tajinya, dipermainkan dalam wacana-wacana hambar yang menari di layar kaca dan gawai-gawai canggih. Penyair di tanah Melayu dulu bertutur dalam gurindam dan syair yang tajam, menjadi jembatan antara hati rakyat dan gelegak zaman. Tapi kini, apakah masih ada bait-bait yang bisa mengguncang, menampar, dan membakar semangat mereka yang ditidurkan oleh manisnya propaganda?

Papan reklame menjulang, menjual harapan dengan warna-warna mencolok. Orang-orang berlomba-lomba menjadi pembeli, bukan hanya barang, tapi juga narasi. Di mana suara penyair yang harusnya menampar wajah keserakahan? Penyair seharusnya menjadi duri dalam daging, bukan bunga plastik di meja perjamuan kekuasaan.

Di masa lalu, WS Rendra menggugat lewat nyalanya kata. Ia berkata lantang meski risikonya adalah terkurung dalam tembok kekuasaan. Hari ini, apakah kita masih memiliki keberanian yang sama? Atau kita sekadar jadi penulis status yang puas dengan gemuruh like dan komentar yang datang seperti buih di lautan, hilang sebelum sempat menjadi ombak?

Baca Juga :  Peran Strategis Kementerian Kehutanan dalam Mewujudkan Visi Misi Pemerintahan Probowo-Gibran

Penyair mesti kembali pada takdirnya: menggugat, membakar, dan menghidupkan nyala. Bukan menjadi penjaja kata-kata manis yang menguap dalam kesia-siaan. Kembalilah pada akar, pada diksi-diksi Melayu yang pernah menjadi tombak bagi perlawanan. Kata-kata mesti kembali menjadi senjata, bukan sekadar hiasan di beranda sosial media.

Karya sastra, dalam hal ini puisi, merupakan kegelisahan universal yang disuarakan oleh individu penyair yang ditangkap dari realitas kehidupan masyarakat di mana karya itu lahir. Puisi bukan sekadar rangkaian kata yang tertata indah, melainkan jeritan batin yang meluap dari luka-luka sosial yang tak terobati. Setiap bait adalah cermin zaman, mengabadikan pergulatan manusia dalam lingkaran kehidupan yang terus berputar.

Salah satu contoh nyata dari puisi yang menyuarakan kelukaan bangsa adalah Tanah Air Mata karya Sutardji Calzoum Bachri. Dalam puisi ini, Sutardji menggambarkan tanah air bukan lagi sebagai tempat yang memberikan kebanggaan, tetapi sebagai tempat yang penuh derita dan air mata. Ia menampilkan citra tanah yang basah oleh tangisan, menyiratkan bahwa bangsa ini terus mengalami luka akibat ketidakadilan, kekerasan, dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan gaya bahasanya yang khas dan repetitif, ia menegaskan bahwa penderitaan itu bukan sekadar sesaat, melainkan sebuah realitas yang terus berulang. Tanah Air Mata adalah cermin dari kegetiran sejarah, pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa, dan kepedihan rakyat yang terus-menerus dipaksa menelan pahitnya nasib.

Baca Juga :  LAMR Keluarkan Warkah Petuah Amanah Pilkada 2024

Dari kenyataan yang sedang mendera bangsa hari ini, tidak bisa tidak, penyair harus menyuarakan kesadaran masyarakat melalui puisi-puisinya. Keadaan yang semakin carut-marut, ketimpangan yang makin melebar, dan pengabaian terhadap nurani rakyat tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa suara. Penyair memiliki tanggung jawab moral untuk menghidupkan api kesadaran, membangunkan mereka yang tertidur, dan menggerakkan mereka yang terdiam. Puisi bukan hanya untuk dinikmati, tetapi untuk menjadi senjata perubahan.

Puisi harus “turun” ke jalan, menjadi energi yang menghidupkan hak rakyat yang dikebiri. Ia harus menjadi nyala dalam barisan demonstrasi, menggema di lorong-lorong kota, menggetarkan ruang-ruang parlemen. Kata-kata tak boleh sekadar menjadi aksara di atas kertas; ia harus berubah menjadi api yang membakar kesewenang-wenangan. Narasi liar revolusi harus menyusup dalam bait-bait puisi, membangkitkan yang tertindas, membangun keberanian untuk menuntut keadilan. Sebab, di jalananlah, puisi menemukan makna sejatinya, menjadi suara yang tak bisa dibungkam!

Puisi “Peringatan” karya Wiji Thukul salah satu puisi yang harus “dihidupkan” kembali . Dalam puisi ini, Wiji Thukul dengan lantang mengingatkan bahwa ketidakadilan dan penindasan harus dilawan. Ia menegaskan bahwa “jika rakyat pergi” dan “bila kata-kata tak lagi dipercaya,” maka hanya ada satu jalan: lawan. Dengan bahasa yang lugas dan penuh semangat, puisi ini menjadi tamparan keras bagi penguasa yang terus menginjak hak-hak rakyat kecil. Setiap baitnya seperti genderang perang yang membangunkan kesadaran, mengajak mereka yang tertindas untuk bangkit dan melawan. Wiji Thukul memahami bahwa kata-kata bisa menjadi bom waktu, dan itulah yang ia lakukan; meledakkan kesadaran lewat puisi-puisinya. Peringatan bukan sekadar puisi, melainkan manifesto perjuangan yang tetap relevan hingga hari ini.

Baca Juga :  Perjalanan Karir Syamsuar Jadi Motivasi Kaum Milenial

Tidak zamannya lagi penyair hanya berkelompok dan memperjuangkan kepentingan sempit golongannya sendiri. Penyair tidak boleh terjebak dalam eksklusivitas kelompok yang hanya sibuk dengan estetika tanpa melihat realitas. Tugas penyair adalah memperjuangkan nasib rakyat, menyalakan api kesadaran, dan menjadi suara bagi mereka yang tak mampu bersuara. Puisi bukan hanya untuk komunitas sastra, tetapi untuk seluruh masyarakat yang haus akan keadilan dan kebenaran.

Penyair, bangkitlah! Guncang dunia dengan kata-kata yang menggugat! Jangan biarkan mereka yang berkuasa merasa nyaman di singgasana, sementara rakyatmu makin lama makin terhimpit dalam permainan yang tak adil. Tuangkan ketajaman hati nuranimu, jadikan ia tombak, dan hunuskan ke jantung kepalsuan. Saat ini, dunia ini tak butuh penyair yang sekadar jadi penghibur, tetapi penggugat yang berani menantang zaman!

Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi, dosen Program Studi Sastra Indonesia, FIB UNILAK, Pekanbaru, Riau.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *