PHK Massal : Gejala Permukaan dan Sesuatu Tersembunyi

Azmi bin Rozali
Oleh: Azmi bin Rozali

Dalam tiga bulan terakhir, Provinsi Riau tercatat sebagai provinsi dengan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) terbanyak kedua di Indonesia.

Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) yang selama ini dikenal sebagai lumbung kelapa nasional, menjadi salah satu penyumbang terbesar angka tersebut.

Ribuan buruh perkebunan dan tenaga kerja pabrik pengolahan tiba-tiba kehilangan pekerjaan dalam waktu singkat.

Pihak perusahaan menyebut penurunan drastis produksi kelapa sebagai penyebab utama. Namun, apakah hanya itu yang terjadi?

Alasan yang disampaikan oleh pihak perusahaan, PHK terjadi disebabkan oleh penurunan produksi dan biaya operasional yang meningkat.

Produksi kelapa menurun disebabkan oleh faktor cuaca ekstrem, banjir, dan serangan hama menyebabkan hasil panen kelapa anjlok hingga 40–60% di beberapa wilayah Inhil. Ini membuat operasional pabrik tidak sebanding dengan biaya produksi.

Faktor berikutnya yang menjadi pertimbangan sehingga terjadinya pemutusan hubungan kerja adalah harga komoditas yang tidak stabil. Maksudnya
harga kelapa di pasar domestik dan ekspor fluktuatif dan cenderung menurun, menekan margin keuntungan industri pengolahan.

Dan yang terakhir adalah faktor beban pajak dan kenaikan biaya energi. Menurut apa yang disampaikan oleh pihak perusahaan kenaikan harga BBM dan listrik juga disebut memperberat ongkos produksi perusahaan.

Baca Juga :  Istighfar sebagai Inti Ibadah

Namun, alasan-alasan ini patut ditelaah lebih kritis. Penurunan produksi bukan hal baru dalam sektor perkebunan. Yang berbeda adalah skala dan cara perusahaan menyikapinya, mengapa PHK massal dilakukan secara serempak dan minim transparansi.

Indikasi Pelanggaran dan Strategi Terselubung

Dari berbagai laporan di lapangan, muncul indikasi bahwa ada strategi sistematis dari perusahaan untuk “merampingkan” beban kerja, bukan sekadar menyelamatkan bisnis.

Dari kejadian yang nampak di permukaan ada hal-hal yang dapat dianalisa lebih lanjut, diantaranya adalah :

Pertama – PHK Karyawan Lama, Rekrutmen Ulang dengan Kontrak Baru.
Ada pola mencurigakan di mana karyawan tetap yang telah bekerja bertahun-tahun di-PHK, lalu beberapa bulan kemudian perusahaan membuka lowongan baru dengan status kontrak jangka pendek dan tanpa pesangon.

Kedua – Tidak Ada Uang Pesangon Sesuai UU Ketenagakerjaan.
Banyak pekerja tidak mendapatkan hak normatif seperti pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak lainnya.

Ketiga – Tidak Melibatkan Serikat Pekerja dalam Proses PHK.
PHK dilakukan secara sepihak tanpa mediasi yang adil atau konsultasi dengan perwakilan buruh.

Baca Juga :  Strategi Meningkatkan Penghasilan UMKM di Tengah Gempuran Pedagang Online

Jika praktik ini dibiarkan, maka ini adalah bentuk eksploitasi terselubung dan pembangkangan terhadap hukum yang seharusnya melindungi buruh Indonesia.

Solusi Berkeadilan: Menjaga Keseimbangan antara Hak Buruh dan Kelangsungan Usaha.

Untuk keluar dari krisis ini dengan cara yang adil dan berkelanjutan, diperlukan kebijakan yang menyeimbangkan kebutuhan bisnis dengan perlindungan sosial. Beberapa pendekatan yang bisa diambil adalah sebagai berikut :

Pertama – Audit Ketenagakerjaan oleh Pemerintah dan Ombudsman.
Pemerintah pusat dan provinsi harus mengirim tim independen untuk menyelidiki pola PHK massal. Jika ditemukan pelanggaran, perlu ada sanksi administratif dan pidana bagi perusahaan yang menyiasati hak buruh.

Kedua – Transparansi Alasan PHK dan Proses Mediasi Terbuka.
Semua PHK massal wajib dilaporkan dan dijelaskan dalam forum terbuka bersama serikat pekerja dan dinas tenaga kerja.

Ketiga – Program Insentif untuk Perusahaan yang Menjaga Tenaga Kerja.
Pemerintah dapat memberikan keringanan pajak, subsidi logistik, atau bantuan bahan baku bagi perusahaan yang mampu mempertahankan pekerja, setidaknya hingga masa krisis berakhir.

Baca Juga :  Gelar “Thank You Party” Nongsa Resorts Batam Jamu Pelaku Pariwisata dan Rekan usaha

Keempat – Pembentukan Dana Darurat Pekerja Daerah (DDPD)..
Pemerintah daerah bisa membentuk dana khusus untuk membantu pekerja korban PHK, berupa pelatihan ulang, bantuan sementara, atau akses ke modal UMKM.

Kelima – Revisi Skema Kontrak dan Perlindungan Buruh Kontrak.
Pemerintah pusat perlu mengevaluasi regulasi terkait karyawan kontrak yang kerap dijadikan celah eksploitasi, agar buruh tetap memiliki hak perlindungan jangka panjang.

Mencegah Krisis Sosial di Balik Krisis Ekonomi

Fenomena PHK massal di Indragiri Hilir bukan sekadar efek cuaca atau pasar. Ini adalah peringatan keras bahwa sistem ekonomi kita masih belum cukup adil dan tahan krisis. Ketika buruh dibiarkan menjadi korban terlemah, maka yang kita tanam adalah ketidakstabilan sosial jangka panjang.

Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat menolak normalisasi PHK massal sebagai satu-satunya jalan keluar krisis. Yang kita butuhkan bukan hanya efisiensi bisnis, tapi keadilan industrial. Karena dari keadilan itulah keberlanjutan bisa tumbuh. *

Penulis adalah coach dan trainer nasional, pernah tiga periode menjabat anggota DPRD kabupaten Bengkalis.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *