Oleh: Azmi bin Rozali
Provinsi Riau bukan hanya dikenal sebagai lumbung energi nasional, tetapi juga sebagai tanah yang kaya akan budaya Melayu. Namun, di tengah gegap gempita pembangunan fisik dan ekonomi, perhatian terhadap ekosistem kesenian dan kebudayaan di Riau masih tertinggal. Salah satu institusi yang semestinya menjadi motor penggerak kebudayaan adalah Dewan Kesenian Riau (DKR) yang secara umum terlihat lesu dan nyaris kehilangan denyutnya.
Padahal, Dewan Kesenian Riau bukan sekadar lembaga formal. Ia seharusnya menjadi rumah besar bagi para seniman, budayawan, dan kreator lokal untuk bertukar gagasan, mencipta karya, serta memperkuat identitas budaya Melayu yang menjadi fondasi historis dan spiritual Riau. Sayangnya, peran strategis ini belum tergarap optimal. Ada, namun belum optimal.
Revitalisasi yang Mendesak
Urgensi untuk menggairahkan kembali DKR bukan hanya soal kelembagaan, tapi menyangkut masa depan kreativitas di provinsi ini. Tanpa wadah yang aktif dan inklusif, para seniman dan budayawan kehilangan arah dan ruang ekspresi. Banyak talenta muda memilih merantau ke provinsi lain karena merasa tidak mendapatkan dukungan di tanah sendiri.
Revitalisasi DKR perlu dimulai dari pembenahan struktur, pendanaan, hingga pola komunikasi dengan komunitas kreatif. DKR harus diisi oleh orang-orang yang memiliki rekam jejak di bidang seni dan budaya, bukan sekadar “penitipan” politik atau birokratisasi seni.
Program-programnya harus menyentuh kebutuhan riil seniman: ruang kreatif, akses ke pameran dan pertunjukan, hingga jejaring nasional dan internasional.
Menjadi Jembatan antara Tradisi dan Inovasi
Di era digital, DKR juga memiliki tantangan baru: bagaimana merangkul inovasi tanpa kehilangan akar budaya Melayu. Ini bisa dimulai dengan mendukung program-program yang mengawinkan teknologi dengan kesenian tradisional, seperti pertunjukan teater digital, pameran seni virtual, atau festival budaya berbasis media sosial.
Dewan Kesenian juga bisa menjadi katalisator lahirnya kurator-kurator muda, penulis naskah lokal, hingga komunitas film independen yang mengangkat narasi Melayu dari perspektif kekinian. Dengan demikian, Riau bukan hanya melestarikan budaya, tapi juga menciptakan masa depan kebudayaan.
Perlu Dukungan Pemerintah dan Swasta
Menghidupkan kembali DKR tentu tidak bisa dilakukan sendiri. Pemerintah provinsi perlu menjadikan kebudayaan sebagai agenda utama pembangunan manusia. Ini bukan soal romantisme, tapi bagian dari membangun identitas dan kebanggaan daerah.
Dunia usaha juga perlu dilibatkan dalam ekosistem ini, melalui skema pendanaan, sponsor, dan tanggung jawab sosial (CSR) yang berbasis kebudayaan.
Sudah saatnya Dewan Kesenian Riau tidak lagi menjadi nama kosong di atas kertas. Ia harus menjelma menjadi ruang yang hidup, bergairah, dan terbuka.
Sebab di tangan seniman dan budayawan yang terfasilitasi dengan baik, Riau tidak hanya dikenal sebagai tanah minyak, tapi juga sebagai mercusuar peradaban Melayu di Nusantara. *
Penulis adalah coach dan trainer nasional, pernah 3 periode menjabat anggota DPRD kabupaten Bengkalis.