Oleh: Taufik Hidayat
Di Riau, dua anak gajah bernama Domang dan Tari sedang naik daun. Mereka diangkat sebagai warga kehormatan dan bahkan akan dibuatkan kartu tanda penduduk (KTP). Sebelumnya, mereka juga sudah punya “ayah angkat”. Di atas kertas, ini seperti bentuk cinta dan komitmen terhadap satwa liar. Tapi, benarkah ini langkah yang bijak?
Mari bicara realitas.
Sejak sebelas tahun lalu, sedikitnya 23 ekor gajah mati di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Penyebab utama, habitat mereka terus dirambah. Kawasan konservasi seluas 81.793 hektar itu kini hanya tersisa sekitar 12.000 hektar yang masih berfungsi sebagaimana mestinya. Sisanya? Telah beralih fungsi menjadi kebun sawit dan permukiman.
Siapa yang merambah? Para cukong. Dan siapa yang ditindak? Bukan cukongnya.
Padahal, sejak 2019 Menteri Kehutanan Siti Nurbaya mengaku sudah mengantongi nama-nama para cukong tersebut. Namun hingga kini, tak ada satupun yang ditangkap atau diproses hukum secara serius. Sementara gajah-gajah terusir, kehilangan ruang hidup, dan mati satu per satu.
Ironisnya, di tengah tragedi ekologis ini, kita malah sibuk memberi gelar simbolik: “warga kehormatan”, “anak angkat”, dan sebagainya. Apakah ini bentuk cinta? Atau cara cuci tangan dari tanggung jawab struktural?
Kalau benar ingin memuliakan gajah sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, tak perlu gelar. Tak perlu KTP. Tak perlu seremoni. Yang perlu adalah tindakan nyata, tangkap cukong, bongkar jaringan perambahan, dan kembalikan hutan kepada pemilik sejatinya, alam dan penghuninya.
Sayangnya, saat masyarakat adat atau tokoh lokal terlibat menjual lahan, status sosialnya ditelanjangi di ruang publik. Rasa malu dibikin sekampung. Padahal yang berbuat satu, tapi yang diseret nama budayanya. Sementara cukong, aktor utamanya, tetap berkeliaran dengan nyaman.
Kondisi ini mempermalukan nilai-nilai luhur dalam Tunjuk Ajar Melayu, yang menekankan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan hewan. Dalam adat Melayu, alam adalah guru. Hewan adalah bagian dari keluarga besar kehidupan yang harus dihormati. Tidak ada tempat bagi kerakusan dan eksploitasi.
Melayu memegang prinsip interaktif-dialogis dengan alam, belajar dari alam, menjaga keseimbangan, dan memanfaatkan secara bijak. Tidak merusak, tidak mengambil berlebih, dan tidak membunuh sesuka hati. Gajah, sebagai bagian penting dari ekosistem, punya hak hidup yang dilindungi adat dan spiritualitas orang Melayu.
Namun kini, karena kerakusan segelintir orang, hutan dirampas, gajah dibunuh secara perlahan, dan tanah Melayu punya tiga musim: musim hujan, musim kemarau, dan musim jerebu, asap pembakaran hutan yang dulu tiap tahun menghitamkan langit dan paru-paru rakyat.
Ini bukan soal simbolik. Ini soal tanggung jawab. Jangan berdalih mencintai gajah, sementara hutan mereka dibiarkan dirampok. Jangan bicara konservasi, sementara hukum dibiarkan lumpuh.
Kalau kita memang peduli, tunjukkan dengan tindakan nyata. Bukan seremoni. Tangkap cukongnya, bukan cuma pelihara ikon-ikon manis di pinggir berita. Karena pada akhirnya, gajah tidak butuh KTP. Mereka butuh hutan. Mereka butuh hidup. Mereka perlu perlindungan dari kita manusia yang berakal.
Taufik Hidayat, S.S
Adalah pemimpin redaksi RiauKepri.com, dan juga seniman musik Riau. Saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Riau (DKR).