Cerpen Riski Hari Yanto
“Aww…!” Aku sedikit menjerit saat jariku teriris pisau dapur, darahnya cukup banyak menetes hingga ke lantai. Aku mulai kelabakan saat darahnya tak berhenti keluar, aku mencucinya, rasa perih di perutku mulai terasa mengiris. Dengan cepat aku membuka laci, mengambil obat merah dan perban yang sempatku simpan di sana untuk jaga-jaga.
“Cih..! Penakut…!” Suara itu muncul lagi, suara itu seperti memandangku dengan tatapan meremehkan.
“Aku tidak percaya bisa berada dalam tubuh orang lemah sepertimu, serahkan tubuhmu dan aku akan membuatmu kuat,” aku terdiam, seperti biasanya, kepalaku sedikit pusing ketika kepribadian lainku menguasai tubuhku, perlahan aku tenggelam dalam kegelapan yang entah dimana.
“Cih..! Ini belum seberapa..!” Dia mengambil pisau dapur yang tadi melukaiku, dengan tatapan kebencian dia menggenggam pisau itu erat.
“Kau sudah berani membuatku bangun dengan aroma darahnya, dan sekarang kau juga akan merasakan akibatnya,” entah rutukan itu dia berikan untuk siapa, kali ini aku tidak bisa mencegahnya, dia menguasai tubuhku, dan aku hanya jadi penonton ketika dia memulai aksinya.
“Akan aku ajari kau apa itu ketakutan dan rasa sakit,” ucapnya menyeringai menatap cermin yang ada dihadapannya.
Dia mulai menempelkan pisau itu ditanganku lalu menarik mata pisaunya, darah mengucur deras dari tanganku, namun tetap aku masih dalam bayangannya, karena kali ini dia yang menguasai tubuhku.
“Ahhhh darahmu… aromanya benar-benar membuatku ingin menikmatinya” dia menjilat tangan yang berlumuran darah itu dengan rakusnya, seolah seorang vampire yang haus akan darah, dia benar-benar gila.
Luka itu menutup dengan jilatan yang dia lakukan, kemudian dia menyeringai lagi.
“Kau lihat, lukamu tertutup, lalu untuk apa kau takut dengan darah, jika jilatan kecil saja akan membuatnya tertutup sempurna” dia kembali menempelkan pisau itu ditempat yang sama, dilengan kiriku, lalu menjilatnya dan itu dilakukan berulang-ulang.
“Cih..! Aku bosan” ucapnya mulai berjalan
“Disini sepi, tidak akan ada orang yang masuk dan ini hanya akan menajdi rahasia kita” ucapnya menutup pintu kamar yang kini kami masuki.
“Jadi,bagaimana menurutmu? Apa kau menginginkannya lagi ?” Ucapnya menyeringai kearah cermin.
“Lakukan apapun, asalkan itu mengurangi rasa takutku” ucapku datar.
Senyumnya semakin mengembang, dan dia mulai mencari sesuatu di dalam laciku. Sesuatu yang aku simpan dan hanya dia yang tau untuk apa itu aku lakukan.
“Untuk apa itu?” Ucapku bertanya, padanya, asal kalian tahu aku memiliki satu tubuh dengan jiwa yang berbeda, jiwa itu adalah kebalikan dari dirimu sendiri.
Jika satu jiwamu adalah baik maka yang satunya adalah jahat, begitu juga denganku, aku adalah si penakut dan di depanku adalah si psikopat gila yang haus akan darah.
“Aku sudah lama tidak menggunakan ini,
“Lakukan, tapi ingat, jangan lukai wajahku atau tubuh yang bisa mereka curigai”
“Aku mengerti itu”
Dia terdiam, mungkin dia tengah memikirkan sesuatu yang lebih menantang.
Seperti dugaanku, dia melepas gunting yang tadi dia pegang, dia kembali mencari pisau dapur yang tadi dia letakkan diatas meja.
“Aku akan memulai dengan ini, karena jika memulai dengan itu hanya akan mengakhiri semuanya, dan aku tidak ingin permainan kita berakhir dengan cepat” ucapnya menyeringai dengan penuh kemenangan.
Aku tidak merespon ucapannya, aku hanya diam dan menikmati rasa sakit yang ia torehlan dalam tubuhku. Perlahan dia memegang ujung pisau, kali ini dia lebih berhati-hati dalam menggores lukanya.
Seperti seorang seniman, dia mengukir sesuatu ditanganku, bau anyir darah mulai menusuk indra penciumanku. Senyum yang terus mengembang itu masih terukir diwajahnya, ukiran ditanganku belum selsai, dia masih memegang ujung mata pisaunya dengan hati-hati.
Perlahan huruf pertama yang dia buat mulai terlihat, dia menyeringai, dan memperdalam goresannya, darah yang terus mengalir seolah tak dihiraukan. Sementara aku, aku hanya bisa menahan nyeri karena sakit yang dia buat pada tubuhku.
“Hahaha…, huruf pertamamu selsai Moka, apa kau bisa melihatnya ??” Ucapnya tertawa kegirangan saat huruf pertama yang dia goreskan berhasil dengan sempurna.
“M??” Ucapku heran.
“Masih ada 3 huruf lagi yang ingin ku ukir ditanganmu Moka, ah maksudku tangan kita” ucapnya dengan seringai yang tak luntur dari wajahnya.
“Lakukan, sebelum ada yang melihatmu”
“Tanpa kau minta, aku juga akan melakukannya”
Dia kembali fokus pada tangan dan juga pisau yang dia pegang. Kali ini goresan kedua, dia menjilat sisa darah pada pisau lalu kembali mengukir huruf ke dua. Dengan sangat hati-hati seolah tengah mengukir di atas kaca yang rapuh, dia memulai membentuk huruf yang dia inginkan. Rasa perih dan sakit membuatku benar-benat ingin menangis, tapi mataku tidak akan mengeluarkan air beningnya selama tubuhku dikuasai oleh diriku yang lain. Aku merasakan perih yang luar bisa pada tanganku, tapi percuma rasa sakitku adalah hal yang sangat dia sukai.
Ukiran kedua selsai, aku sudah bisa menebak ukiran ke tiga ataupun keempatnya sekarang, dia semakin bersemangat menggores lenganku tanpa rasa sakit. Karena baginya, rasa sakit itu sangat menyenangkan.
“Apa kau sudah mengerti maksudku sekarang Moka ?” Ucapnya menyeringai setelah berhasil menyelsaikan huruf ke empat.
Aku mengerti, tapi kenapa ?” Ucapku sedikit heran.
“Itu karena kau mengambil semuanya dariku, kebahagiaanku, rasa cintaku perasaanku dan semuanya, kau mengambil semuanya dariku Moka..!! Semua orang mencintaimu tapi aku…!!! Dimana posisiku..! Kita memiliki tubuh yang sama tapi aku bahkan tidak bisa menjadi bagian dari semua kebahagiaan yang kau miliki…!! Dan aku muak..!!” Ucapnya mulai mengangkat pisau dan menusuk bagian perutku.
“Aku akan membiarkanmu merasakan sakit ini sekarang, agar kau mengerti bahwa aku benar-benar membencimu..!!” Ucapnya kembali menusuk bagian perutku.
“Hen…ti…k…aa…nn… i..ni… sud…ahh ber…lebi..hann…” ucapku terbata menahan sakit yang dia ciptakan.
“Persetan dengan semua itu, kau benar-benar membuatku menderita Moka..!!!” Ucapnya marah dan menusuk kembali bagian perutku.
Darah merembes dengan begitu derasnya, bau anyirnya semakin membuat siapa saja mual setelah melihatnya. Aku mencoba mengendalikan tubuhku kembali, tapi percuma ini sudah lebih dari satu jam dia menguasai tubuhku, dan jika lebih dari itu dia akan lebih berkuasa lagi.
“Ini yang terakhir Moka” ucapnya mengambil gunting yang sempat dia buang, dia menusuk bagian perutku hingga semua bagian dalamnya keluar.
“Sial..!! Kau masih hidup heh, baiklah ini yang terakhir..!” Ucapnya dengan sisa kekuatan yang dia miliki, dia mengangkat guntingnya dan menusuk leherku.
Rasa perih dan nyeri menguasai tubuhku, rasanya benar-benar seperti tercabik, sisi lain dari diriku bahkan membenciku. Dia membenci diriku bukan hanya karena kelemahanku, tapi juga karena dia merasa tidak bahagia saat melihatku bahagia.
“Apa aku akan berakhir seperti ini ?” ucapku lirih, airmataku akhirnya keluar, bercampur dengan pulau darah oleh sisi lainku.
“Terimakasih atas kehidupan yang sangat membosankan ini Moka, tapi aku bahagia, akhirnya kita bisa mengakhiri semua rasa sakit kita masing-masing,” ucapnya tersenyum sebelum akhirnya menghilang.
Aku sendiri, dan selamanya selalu sendiri, dia adalah sisi lain dari diriku, dan dia tahu semua kebahagiaan dan senyum yang selama ini aku tunjukkan hanya pura-pura. Dia lelah dengan drama yang setiap hari harusku mainkan hanya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Dia lelah dengan sifatku yang seperti pengemis hanya untuk mendapatkan cinta dari orang yang kusayang.
Selama ini hanya sisi lainku yang setia menerimaku dengan segala kekuranganku, tapi dia benar-benar muak karena aku terlalu lemah baginya. Dan sekarang dia menghilang, aku sendiri.
“Lagi pula aku memang selalu sendiri,” aku memandangi lenganku, menatap ukiran yang dia buat untukku, itu bukan ukiran namaku melainkan ukiran takdir yang telah kami pilih.
“MATI!” ucapku tersenyum lirih.
Aku memejamkan mataku, menikmati tetesan demi tetesan darah yang memenuhi tubuhku. Aku bahagia, setidaknya penderitaan dan drama yang kubuat akhirnya berakhir.
Riski HariYanto adalah mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning.