Oleh Hang Kafrawi
Setiap bulan Oktober, tepatnya pada tangga 28 Oktober, Atah Roy lebih banyak berada di rumah. Atah Roy lebih banyak bersemedi di depan buku-buku. Menjelajahi imajinasi ke rumah-rumah sejarah. Tak jarang pula Atah Roy meneteskan air mata tiap kali berhadapan dengan tulisan tentang pemuda. Namun untuk tahun ini, Atah Roy tak meneteskan air mata. Harapan nampaknya, menurut Atah Roy, tidak dijalani dengan kesedihan. Harapan harus dijalani dengan penuh semangat. Semangat adalah modal untuk mewujudkan harapan tersebut. Hal ini disimpulkan oleh Atah Roy setelah membaca puisi Presiden Penyair Indonsia, Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Wahai Pemuda, Mana Telurmu?”.
Puisi yang ditulis Sutardji Calzoum Bachri ini memperlihat harapan-harapan besar negara ini berada di tangan para pemudanya. Pemuda pembawa perubahan, pemuda pengemban amanat untuk memoles negara ini lebih baik lagi, sebab pemuda masih ‘suci’ dan belum tergoda oleh kepentingan-kepentingan pragmatis untuk cepat kaya. Dalam pemikiran pemuda hanya ada satu tujuan yaitu berada di negera yang makmur dan sejahtera.
Pelan-pelan, tapi pasti, Atah Roy pun melantunkan sebait puisi Sang Presiden Penyair Riau itu; Apa gunanya merdeka/Kalau tak bertelur/Apa gunanya bebas/Kalau tak menetas?. Setelah membaca bait pertama puisi itu, Atah Roy menarik nafas panjang. Atah Roy membayangkan bagaimana pemuda-pemuda terdahulu berjuang menyatukan perbedaan menjadi padu dan melahirkan kekuatan dahsyat; Sumpah Pemuda.
Di saat Atah Roy sedang menghayalkan diri berada di tengah para pemuda, tiba-tiba Leman Lengkung datang menawarkan segelas kopi kepadanya.
“Minum kopi dulu, Tah, bio otak bertambah tajam menerawang kehidupan ini,” ucap Leman Lengkung sambil menarukkan kopi di atas meja depan Atah Roy.
Mata Atah Roy tajam menatap Leman Lengkung. Setiap gerak yang dilakukan Leman Lengkung tak luput dari pandangan mata ‘elang’ Atah Roy. Melihat pandangan bapak saudaranya penuh makna, Leman Lengkung salah tingkah. Nak duduk salah, nak pergi pun salah. Walaupun demikian, sebagai pemuda, Leman Lengkung, langsung bertanya kepada bapak saudaranya itu.
“Sebagai pemuda, saye tak mau penasaran menghantui pikiran saye, Tah. Ape salah saye, Tah, sehingge Atah memandang saye seperti ini?” tanya Leman Lengkung.
“Wahai bangsaku/Wahai pemuda/Mana telurmu?” kata Atah Roy mengucapkan baik kedua puisi Sutardji Calzoum Bachri.
“Sebagai pemuda yang mengabdikan diri kepada bapak saudare, saye telah menyediekan kopi kepade Atah. Itu saye lakukan dengan ikhlas,” jawan Leman Lengkung.
“Burung jika tak bertelur/Tak menetas/Sia-sia saja terbang bebas,” ucap Atah Roy lagi seperti orang kemasukan.
“Pengabdian kepada orang terdekat merupakan dasar bagi saye untuk berbuat lebih lagi. Macam mane kite hendak mengabdikan diri kepade masyarakat luas, kalau orang terdekat kite abaikan,” Leman Lengkung menjawab.
“Kepompong menetaskan/kupu-kupu,/Kuntum membawa bunga/Putik jadi buah/Buah menyimpan biji/Menyimpan mimpi/Menyimpan pohon/dan bunga-bunga/Uap terbang menetas awan/Mimpi jadi, sungai pun jadi,/Menetas jadi,/Hakekat lautan,” ujar Atah Roy kembali mengutip bait puisi Sutardji Calzoum Bachri.
“Saye tidak pernah menyerah berhadapan dengan apepun keadaan yang menimpa keluarge kite. Saye rela tak melanjutkan kuliah, sebab saye tahu bapak saudare saye belum sanggup untuk membiayai kuliah saye. Saye pun harus mengurungkan keinginan saye nak pergi kerje ke negara jiran, sebab saye tahu di negeri ini masih banyak pekerjaan yang dapat dilakukan. Walau harge jual ojol sangat murah, tapi saye yakin, ienye dapat masih dapat diolah, dan saye juge melakukan pekerjaan lain, selain menakik getah. Negeri ini memang dalam keadaan susah, tapi saye lebih merase susah melihat bapak saudare saye tinggal sendiri di rumah. Mencintai suadare same dengan mencintai negara ini,” Leman Lengkung semakin mantap menjawab.
“Setelah kupikir-pikir/Manusia ternyata burung berpikir/Setelah kurenung-renung/Manusia adalah/burung merenung/Setelah bertafakur/Tahulah aku/Manusia harus bertelur,” ucap Atah Roy di hadapan Leman Lengkung.
“Bagi saye, ape yang bisa saye buat, make saye akan buat. Peluang itu datang tergantung dengan ape yang kite niat dan niat itu akan terwujud kalau kite sungguh-sungguh menjalankannye, Tah. Saye tak pernah malu berhadapan dengan kawan saye yang bersekolah tinggi, sebab saye yakin bahwe kite yang lahir di muka bumi ini adalah para pemenang dan memiliki kesempatan yang same untuk berbuat,” ujar Leman Lengkung.
“Burung membuahkan telur/Telur menjadi burung/Ayah menciptakan anak/Anak melahirkan ayah,” dari mulut Atah Roy masih melompat bait puisi Sutardji Calzoum Bachri.
“Saye yakin ape yang saye lakukan untuk kebaikan akan menghasilakan kebaikan untuk orang lain pula. Saye akan berpegang teguh dengan ape ajaran orang tue saye, terutame Atah yang telah membesarkan saye. Sejak dari kecik, Atah telah mengajar saye untuk bersikap. Banyak harte bukan hal utame dalam hidup ini, kebahagiaan itu hadir disaat kite tidak hidup dalam penasaran. Ape yang saye selalu lakukan berdasarkan keikhlasan, kalau sudah ikhlas, kite pun tidak pernah menghitung untang atau pun rugi. Itulah yang diajarkan bapak saudare saye, Atah Roy,” ucap Leman Lengkung.
Mendengar kata-kata Leman Lengkung, tiba-tiba di pipi Atah Roy mengalir air dari mata. Pada saat itu Atah Roy ingin memeluk Leman Lengkung, namun ditahannya, sebab puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Wahai Pemuda Mana Telurmu?” belum selesai disampaikan kepada Leman Lengkung.
“Wahai para pemuda/Wahai garuda/Menetaslah/Lahirkan lagi/Bapak bagi bangsa ini!/Menetaslah/Seperti dulu/Para pemuda/Bertelur emas/Menetas kau/Dalam sumpah mereka.”
Leman Lengkung hendak menjawab, namun terhenti, sebab Atah Roy terlebih dahulu memeluknya.
“Usah dijawab lagi, Man, aku yakin masih banyak pemuda di negara ini memiliki pikiran bersih dan jernih untuk mengabdikan diri kepada Ibu Pertiwi tanpa embel-embel yang lain. Aku yakin itu, Man, negara ini perlu pemuda seperti itu. Menetaslah mike semue, selamatkan bangsa ini dari keserakahan,” ujar Atah Roy sambil memeluk Leman Lengkung dengan linangan air mata.
Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi, dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. Sekarang Hang Kafrawi menjabat sebagai Wakil Dekan III, FIB Unilak.