Mengkaji Sastra Lisan Daerah Kampar, Mahasiswa Sastra Indonesia FIB Unilak Kunjungi Desa Teratak Kecamatan Rumbio

Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia FIB Unilak berfoto dengan narasumber didampingi dosen pembimbing

Kontribusi Tulisan Mutiara Sri Wulandari

RiauKepri.com, PEKANBARU– Desa Teratak, Kecamatan Rumbio, Kabupaten Kampar adalah daerah yang memiliki warisan sastra lisan yang disebut Manolam. Manolam ini berasal dari kata manozam yang berarti bercerita. Para penyair manolam akan bercerita menggunakan cengkok khas tersendiri kepada pendengar. Isi teks manolam akan selalu religius, misalnya petuah yang berisi pesan keagamaan, cerita tentang peristiwa yang dialami Rasulullah, Nabi Adam dan yang lainnya.

Pada 29 November 2024 sampai 30 November 2024, mahasiswa Sastra Indonesia FIB Unilak, Alvi Puspita, S.Pd, M.A dan Dra. Hj. Raja Syamsidar, M.Pd sebagai dosen pembimbing, mengadakan kunjungan ke desa Rumbio untuk meneliti sastra lisan yang cukup terkenal di desa tersebut yakni Manolam. Nolam atau Manolam adalah syair yang sudah menjadi tradisi budaya Kampar. Syair akan dibaca tanpa penambahan musik melainkan murni menggunakan suara manusia. Sejarah manolam berkembang pada abad ke-19. Penutur mencari naskahnya kepada guru lalu menyalin atau mengahfalnya, kemudian disimpan sehingga menjadi sebuah warisan.

Kata Maryulis, atau yang lebih dikenal dengan Datuk Terang Bulan, pembacaan manolam tidak hanya asal membaca, “Membaca syair manolam ini kita harus berwudhu terlebih dahulu, juga tidak lupa menututp aurat karena isi teks manolam selalu bersangkut dengan agama. Tetapi perempuan yang sedang tidak suci pun masih diperbolehkan membacanya sebab manolam bukanlah kitab suci Al-Qur’an,” ujar Datuk Terang Bulan saat mahasiswa Sastra Indonesia berkunjung ke rumah beliau.

Baca Juga :  Bistamam: Ini Semua Demi Kesejahteraan Masyarakat Rokan Hilir
Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia FIB Unilak berfoto dengan narasumber didampingi dosen pembimbing

Naskah manolam ditulis dalam aksara jawi (arab melayu). Penutur manolam biasanya membaca “Bismillahirrahmanirrahim” terlebih dahulu sebelum membaca teks manolam yang ada di naskah. Pembacaan manolam ini biasanya berlangsung 3 sampai 4 jam. Penutur manolam ini tidak terfokus pada satu generasi saja, yang paling banyak peminat bahkan menjadi guru adalah generasi paruh baya sampai lansia. Namun tak menutup kemungkinan bahwa generasi muda terlibat dalam hal ini. Para pemuda bahkan anak sd pun juga dilatih melantunkan syair merdu ini.

Pada malam pertama, masyarakat di desa tersebut mengajak mahasiswa Sastra Indonesia untuk mendengar secara langsung lantunan manolam. Acara dibuka dengan membaca ayat suci Al-Qur’an terlebih dahulu. Setelahnya, dilanjutkan dengan membaca langsung syair manolam yang dilantunkan oleh Datuk Terang Bulan. Tidak hanya dihadiri oleh beliau, masyarakat lain juga ikut serta hadir menyaksikan bahkan membaca manolam tersebut, salah satunya seorang perempuan lansia yang dikenal dengan panggilan Mak Hitam, juga masyarakat lain yang senang hati menyumbang suara merdunya. Acara berlangsung ba’da isya sampai sekitar pukul 23.00 wib. Tidak hanya sekadar melantunkan syair manolam saja, tetapi mahasiswa Sastra Indonesia tersebut juga dilatih melantunkan syair manolam.

Baca Juga :  Ini Sebab Generasi Muda Duri Bertekad Menangkan Suwai

Pada hari kedua, mahasiswa Sastra Indonesia kembali berkunjung ke rumah seseorang yang juga cukup berpengaruh dalam tradisi manolam, yakni nenek Sora yang sudah berumur 90 tahun. Di sana nenek Sora memperlihatkan beberapa naskah manolam yang sudah mulai rapuh jika tidak dirawat dengan baik. Tak hanya itu, beliau juga melantunkan sedikit syair manolam. Matanya masih mampu membaca teks manolam itu, dan suaranya masih terdengar  merdu walau umur sudah hampir 1 abad.

Dua hari berlalu cukup menyenangkan. Banyak ilmu yang didapat mahasiswa Sastra Indonesia. Sore pada hari kedua tersebut, Datuk Terang Bulan mengajak untuk membuat salah satu makanan khas daerah di sana sebelum mahasiswa kembali ke Pekanbaru. Makanan tersebut bernama galu-galu. Padi muda yang dimasak di atas wajan tanpa minyak (disangai) agar masaknya merata. Lalu ditumbuk menggunakan alu pada sebuah lesung dengan tujuan memisahkan kulit/ sekamnya. Lalu ditampi menggunakan niru untuk memastikan sekam benar-benar sudah terpisah. Hasilnya adalah beras yang sudah pipih sebab ditumbuk juga wangi sebab disangai. Selanjutnya kelapa muda diparut halus lalu diaduk rata dengan padi yang sudah ditumbuk tadi serta dicampur dengan gula. Dan galu-galu siap disantap.

Baca Juga :  BRK Syariah Dukung Program DPJ Wujudkan Generasi Emas Indonesia Sadar Pajak

Setelah banyaknya aktivitas selama dua hari, dengan berat hati mahasiswa Sastra Indonesia meninggalkan jejak dari kampung tersebut. Masyarakat kampung Rumbio berharap generasi muda bisa terus melestarikan manolam ini. Seperti apa yang dikatakan oleh Ibuk Nurhayati atau yang lebih dikenal Tek Nino, “Saya sangat senang mahasiswa sekalian datang kemari untuk mempelajari manolam. Setidaknya masih ada generasi muda yang masih punya minat dalam hal yang bisa dikatakan kuno ini.”

Kunjungan ini diharapkan tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan mata kuliah saja, melainkan harus berusaha agar warisan yang sudah turun temurun ini bisa tetap dipertahankan pada zaman yang semakin berkembang ini. Mahasiswa Sastra Indonesia adalah salah satu oknum penting yang wajib mempertahankan dan melestarikan warisan-warisan budaya agar kekhawatiran masyarakat akan hilangnya budaya bisa berkurang.

Mutiara Sri Wulandari adalah mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, FIB Unilak, semester 3.

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *