Oleh Hang Kafrawi
Di tengah dahsyatnya perkembangan teknologi, informasi dapat diakses secara instan dan media digital, terutama video visual merajalela, mendominasi kehidupan sehari-hari, terancamkah karya sastra? Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi komunikasi dalam hal media sosial yang menghandalkan informasi bebasis video visual berdampak kepada berubahnya cara menikmati informasi tersebut. Sebelum perkembangan teknologi sedahsyat hari ini, informasi dikuasai media seperti buku, koran, majalah, tabloid yang kekuatannya bahasa tulis dengan membaca. Begitu juga keberadaan karya sastra seperti novel, cerpen, maupun puisi didapat dari buku atau koran atau majalah. Masalahnya sekarang, pada hari ini orang-orang lebih suka menikmati informasi untuk mendapat pengetahuan dari media video visual seperti youtube, tiktok, instagram, facebook atau media sosial lainnya.
Memang benar bahwa dengan membaca karya sastra memberikan ruang untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang kehidupan, moralitas, dan hubungan manusia. Dengan membaca karya sastra juga dapat meningkatkan empati karena pembaca “menghidupkan” pengalaman karakter dalam pikiran mereka. Lebih jauh lagi, membaca karya sastra akan memperbanyak pembendaraan kosa kata, memperhalus kemampuan rasa, dan merangsang keterampilan berpikir kritis. Namun penyataan ini semua akan menjadi gombalan kosong saja apabila orang-orang tidak berminat lagi dengan membaca dan orang-orang sudah mendapat gantinya dengan menikmati vidoe visual yang tidak menguras pikiran untuk mendapat kenikmatannya.
Berekehendak mengikuiti perkembangan zaman, menikmati sesuatu hal itu dengan instan maka konten-konten yang diproduksi di berbagai platform juga mengalami pendangkalan. Hal ini disebabkan dipangkasnya karya-karya terlalu panjang harus sesuai dengan pasar hari ini. Untuk bersaing di dunia digital, karya sastra sering kali diadaptasi menjadi format visual atau ringkasan yang dapat mengurangi kedalaman pesan aslinya. Sesuatu yang panjang harus dipangkas, padahal berisi hal yang penting. Tidak dapat dielak untuk menyesuaikan selera konsumen hari ini mengharuskan memendekkan karya-karya atau dibuatkan visualnya. Padahal konsumsi konten singkat secara terus-menerus dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk membaca dan memahami teks panjang. Penelitian oleh Maryanne Wolf (Reader, Come Home: The Reading Brain in a Digital World. Harper Collins, 2018) menunjukkan bahwa kebiasaan membaca di layar sering kali menurunkan kemampuan deep reading yang diperlukan untuk menikmati sastra. Deep reading adalah proses membaca yang melibatkan refleksi mendalam, analisis kritis, dan empat.
Memang perkembangan teknologi komunikasi, khususnya media sosial, dapat membantu penyebaran karya sastra ke pelosok penjuru dunia. Itu tidak mungkin dinafikan, namun demikian “mengebiri” karya sastra menjadi masalah tersendiri pula. Bukankah hakikat karya sastra dihasilkan sebagai jalan manusia lebih manusia lagi? Oh, ini mungkin pandangan terlalu kuno di masa sekarang ini. Apalagi pada hari ini kesuksesan itu diukur dari berapa banyak duit yang dimiliki seseorang. Pandangan inilah menyebabkan karya sastra juga mengalami penurunan nilainya. Karya sastra hari ini harus mampu memanfaatkan teknologi canggih dengan menyesuaikan diri, sehingga untuk menikmati karya sastra yang dihasilkan tidak perlu pendalaman pikiran. Ditambah lagi, pengkarya hari ini harus viral untuk mendapatkan cuan.
Tentu saja fenomena yang disampaikan di atas mengurangi harapan bahwa karya sastra mampu mengubah suatu tatanan kehidupan di muka bumi ini. Karya-karya sastra “serius” seperti karya-karya yang dihasilkan Gabriel Garcia Marquez, Albert Camus, Leo Tolstoy, Mochtar Lubis, Hamka, Pramodyea Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono perlahan-lahan akan hilang dan tidak akan ditemukan lagi di masa akan datang. Mengikuti perkembangan zaman bukanlah dosa, namun perkembangan zaman harus pula diiringi kecerdasan yang mendalam untuk menjadi kritis. Terbawa perkembangan zaman, maka siap-siap keseragaman pikiran dan siap-siap pulalah kemajuan didominasi oleh negera-negara maju dengan mengatur pikiiran manusia mengikuti algoritma yang mereka ciptakan. Karya sastra bersiap-siap pula bertransformasi menjadi hiburan belaka tanpa mampu mengubah pandangan dunia.
Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi, dosen Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning.