Oleh Elsa Dwiyanti
Pada tanggal 18–19 April 2024, denyut seni kembali menggema di Riau kali ini di Kota Dumai lewat sebuah perhelatan bertajuk Riak Gemuruh Lakon, diselenggarakan oleh Studio Lakon. Pergelaran ini menjadi ruang temu dan dialog para pekerja teater dari berbagai daerah Dumai, Duri, Pekanbaru, hingga Rohil, bersatu di atas panggung untuk menyuarakan kegelisahan, harapan, dan cinta terhadap bumi dan kemanusiaan.
Pergelaran ini bukan sekadar acara seni. Ia adalah manifesto kolektif, di mana teater menjadi wahana spiritual, media kritik sosial, dan refleksi ekologis. Malam pertama dan kedua perhelatan ini menyuguhkan pertunjukan-pertunjukan yang menggugah dan membekas dalam benak penonton. Tersebab keterbatasan saya sebagai peserta, tulisan ini cuma “merekam” beberapa pergelaran saja.
Malam pertama dibuka dengan pementasan Marsinah Menggugat, sebuah lakon yang mengangkat kembali kisah nyata Marsinah, seorang buruh pabrik yang memperjuangkan haknya namun berujung tragis. Ia disiksa hingga meninggal, dan hingga hari ini, keadilan bagi Marsinah belum tuntas ditegakkan. Lakon ini mengguncang, bukan hanya karena kisahnya yang memilukan, tapi juga karena keberanian sutradara dan pemain untuk menyuarakan luka yang terlalu lama diredam.
Disusul kemudian oleh pertunjukan dari Teater Senja SMA Negeri 5 Pekanbaru, yang menampilkan lakon berjudul Jampi. Lakon ini mengajak penonton menembus ruang dan waktu generasi muda hari ini “masuk” ke masa silam dan berdialog dengan sejarah. Mereka menggali kembali kisah Putri Kaca Mayang, sosok perempuan tangguh yang harus dibela di tengah ketidakadilan yang menimpanya. Lakon ini bukan sekadar dongeng ulang, tapi upaya menggugat lupa dan membela ingatan. Para aktor dalam lakonan ini sangat apik menjadi tokoh-tokoh pembawa kisah.
Pada malam kedua, giliran FIB Universitas Lancang Kuning tampil membawakan lakon Dzikir Alam, sebuah pementasan yang menyuarakan keresahan spiritual atas kerusakan lingkungan. Dalam lakon ini, alam bukan sekadar latar, tetapi entitas hidup yang bersujud dan bertasbih. Pohon, daun, akar, dan batang, semuanya bersuara dalam diam, menyampaikan luka karena keserakahan manusia.
Namun malam itu juga dimeriahkan oleh Teater Matan, yang menghadirkan lakon bertajuk Darurat. Pertunjukan ini mengetengahkan kisah kesewenang-wenangan orang kaya dalam menguasai hutan, menyogok kekuasaan, dan membungkam jeritan rakyat dengan uang. Lakon ini menyentil keras bagaimana alam hancur karena rakus manusia, dan rakyat dipaksa diam oleh sistem yang timpang. Pementasan ini menyuarakan kemarahan, namun juga menyimpan bara harapan—bahwa suara rakyat tak akan pernah padam selamanya.
Salah satu momen berharga dalam kegiatan ini adalah kehadiran Ketua DPRD Kota Dumai, Agus Miswandi, yang ikut menyaksikan pertunjukan dan berdiskusi hingga tengah malam di ruang terbuka. Diskusi berlangsung hangat hingga pukul 12 malam, disinari obrolan yang membumi dan penuh semangat.
Agus Miswandi mengungkapkan kekagumannya terhadap teater sebagai media komunikasi yang kuat dan menyentuh. Ia mengakui bahwa sebelumnya ia hanya mengenal teater sebagai pertunjukan di panggung tertutup. Namun dari Riak Gemuruh Lakon, ia sadar bahwa teater juga bisa hidup di ruang terbuka, menyapa langsung denyut nadi masyarakat. Ia menyatakan harapannya agar teater di Riau, khususnya di Dumai, terus bertahan dan memperkuat eksistensinya sebagai ruang pendidikan batin dan sosial.
Riak Gemuruh Lakon bukan sekadar agenda seni. Ia adalah ajakan untuk merenung, untuk mendengar kembali suara-suara yang selama ini dibungkam. Dari Marsinah hingga Putri Kaca Mayang, dari pohon-pohon yang berzikir hingga rakyat yang disumbat mulutnya, semuanya bersatu dalam satu panggung: panggung perlawanan, kesadaran, dan cinta.
Dan dalam hembusan angin malam, kita sadar: teater bukan hanya hiburan. Ia adalah doa, gugatan, dan nafas alam yang sedang menanti didengar.
Elsa Dwiyanti adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Melayu, FIB Unilak