Oleh Hang Kafrawi
Sejarah adalah peristiwa bentangan masa lalu. Bentangan sejarah ini akan menjadi kenangan saja apabila tidak dimaknai dan mengaitkannya dengan masa kini. Semestinyalah sejarah harus dibongkar sesuai dengan semangat zaman, namun tidak menghilangkan fakta-fakta kebenaran yang terkandung dalam sejarah. Semangat menjadi kata kunci ‘menghidupkan’ kembali apa yang telah dilakukan oleh tokoh masa lalu. Semangat membongkar sejarah pada hari ini adalah upaya membuat jalan untuk mencintai negeri ini lebih dalam lagi dan melahirkan identitas dengan pondasi yang kuat. Selain itu sejarah dapat dijadikan perbandingan kita yang hidup masa kini dengan ‘kita’ yang hidup di masa lalu dan melahirkan pertanyaan eksistensialis ‘orang dulu kenapa bisa, kenapa kita hari ini tidak?’
Salah seorang tokoh masa lalu yang memiliki pengaruh besar dan dapat dijadikan rujukan membangkitkan semangat orang masa kini, khususnya orang Riau, adalah Raja Kecik. Raja Kecik bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah merupakan pendiri Kerajaan Siak (1723-1746). Sebagai tokoh yang memiliki pengaruh besar, asal usul Raja Kecik pun diperdebatkan. Inilah sejarah dilahirkan berdasarkan kepentingan, namun demikian sejarah juga yang memberi jalan bagi orang masa kini menelusuri masa lalu. Kontroversi seperti apapun asal usul Raja Kecik, ia telah berbuat dan menampakkan eksistensinya sebagi tokoh yang dapat dijadikan panutan bagi orang masa kini untuk berbuat dan mencitai negeri ini.
Raja Kecik merupakan putra Sultan Mahmud II, Sultan Kerajaan Johor (1675–1699), dengan Cik Apong. Perjalan hidup Raja Kecik sampai ia menghembuskan nafas terakahir memang memiliki kisah-kisah perjuangan dan cinta yang dapat dijadikan semangat hari ini. Ia terusir dari istana semenjak dalam rahim ibunya, Cik Apong, disebabkan perebutan kekuasaan. Ia pun harus dilarikan ke Pagaruyung agar hidupnya selamat, sebab di masa itu Datuk Bendahara Abdul Jalil telah menasbihkan diri menjadi sultan menggantikan ayahanda Raja Kecik dan hendak menghabisi seluruh keturunan Sultan Mahmud. Dari sinilah, sejarah Raja Kecik itu bermula, sampai ia mampu menyatukan berbagai suku di tanah Sumatera untuk merbeut tahta di Johor. Semangat Raja Kecik inilah yang dapat dijadikan pompa perjuangan orang Riau hari ini, menjadikan bumi Lancang Kuning ini Daerah Istimewa Riau.
Memperjuangkan Riau sebagai Daerah Istimewa bukan semata-mata soal status administratif. Ia adalah gerakan kebudayaan, gerakan sejarah, dan gerakan batin yang hendak mengangkat kembali harga diri suatu bangsa yang telah lama disisihkan dari peta kuasa nasional. Dalam semangat ini, Raja Kecik bukan sekadar tokoh sejarah, beliau adalah roh perjuangan, simbol jati diri, dan fondasi filosofis dari cita-cita DI Riau. Memperjuangkan DI Riau berarti menyelami dan melanjutkan jejak kebesaran sejarah.
Raja Kecik membangun Kesultanan Siak bukan hanya dengan pedang, tapi dengan visi politik yang menjangkau jauh ke depan. Raja Kecik mengedepankan keadilan sebagai fondasi kekuasaan, menjadikan keberanian sebagai napas perjuangan, serta mengikat suku-suku di Sumatera dalam simpul persatuan. Beliau tidak membangun Siak hanya untuk etnis Melayu, tetapi merangkul berbagai suku yang ada di wilayah ini dalam satu kekuatan baru yang berakar pada keadaban Islam, agama yang tidak hanya dijalankan secara formalistik, tapi menjadi ruh dalam memimpin dan melayani. Inilah politik berbasis marwah, bukan ambisi.
Hari ini, Riau memerlukan kebangkitan nilai-nilai ini untuk menghadapi ancaman peminggiran budaya, eksploitasi sumber daya, dan lemahnya representasi di tingkat nasional. DI Riau harus tumbuh sebagai oase dari sistem yang menjunjung nilai-nilai politik seperti yang dilakukan Raja Kecik..
Raja Kecik bukan hanya pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura. Ia adalah arsitek geopolitik Melayu yang memahami betul medan sejarah. Ia berhasil mempersatukan suku-suku di Sumatera, bahkan mampu merebut Johor, sebuah kerajaan besar di Semenanjung Malaya. Ini bukan kisah kecil. Ini adalah lembaran emas yang menanti untuk dibuka sebagai landasan historis dan legitimasi budaya bagi DI Riau.
Beliau bukan raja yang serakah. Setelah pergolakan politik di Johor, ia tidak berkeras tinggal di singgasana yang berdarah. Ia memilih jalan terhormat: mundur tanpa menumpahkan dendam, dan mendirikan Siak dengan semangat persatuan lintas etnis dan nilai Islam yang mendalam. Di Siak, ia tidak membangun kekuasaan, tapi peradaban.
Kesultanan Siak yang dibangun Raja Kecik adalah cermin dari apa yang diidamkan rakyat Riau hari ini: pemerintahan yang berlandaskan adat, budaya, dan syariat Islam. Ia mendirikan sistem yang memadukan keadilan sosial, toleransi antar suku, dan kedaulatan lokal. Semua nilai itu hari ini masih hidup, terpendam di tanah Riau, menunggu untuk dibangkitkan kembali sebagai pilar keistimewaan.
Raja Kecik membuktikan bahwa kekuasaan bisa dibangun tanpa menginjak. Raja Kecik menbangun ulang politik Melayu dengan tinta kebijaksanaan. Ketika orang Riau berbicara tentang DI Riau, bukan hanya soal dana otsus atau kewenangan administratif, tetapi tentang kembali kepada semangat dan nilai yang diwariskan Raja Kecik.
Raja Kecik simbol jati diri Melayu Riau, karena beliau mewariskan konsep pemerintahan berbasis kebudayaan, bukan hanya kekuasaan. Beliau membuktikan bahwa Riau adalah poros penting peradaban Melayu-Nusantara, bukan sekadar pelengkap Sumatera. Jika Aceh punya Sultan Iskandar Muda, dan Yogyakarta punya Sultan Hamengkubuwono, maka Riau punya Raja Kecik. Sekarang saatnya kita angkat kembali namanya, tidak hanya dalam buku sejarah, tetapi dalam manifesto perjuangan kebudayaan kita hari ini.
Riau bukan daerah biasa. Riau memiliki jejak peradaban yang panjang, budaya yang luhur, dan kontribusi besar dalam sejarah Nusantara. Kini saatnya Riau tidak hanya menuntut, tapi mendefinisikan ulang kedaulatan berdasarkan sejarah sendiri. Di puncak narasi itu, Raja Kecik harus berdiri tegak sebagai ikon. Daerah Istimewa Riau bukan mimpi. Ia adalah keniscayaan sejarah.
Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning