RiauKepri.com, PEKANBARU– Di balik kobaran api yang membakar klinik, rumah karyawan, dan pos keamanan PT Seraya Sumber Lestari (SSL), sebuah nama mencuat sebagai dalang dari kerusuhan besar yang mengguncang kawasan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Desa Tumang.
Adalah SL, seorang pria yang diketahui memiliki lahan ratusan hektare di dalam konsesi PT SSL, yang kini ditetapkan sebagai tersangka kelima sekaligus diduga sebagai otak dari peristiwa pembakaran pada Rabu (11/6) lalu.
“Ya betul, SL sudah kami tetapkan tersangka. Dia pemilik lahan di dalam konsesi, dan salah satu tokoh yang menggerakkan massa,” ujar Kapolres Siak, AKBP Eka Ariandy, Jumat (13/6/2025).
SL tak sekadar hadir dalam kerusuhan. Ia diduga menjadi motor penggerak, mengumpulkan massa, memprovokasi, bahkan ikut terlibat langsung dalam aksi pembakaran fasilitas milik perusahaan.
Membakar Lebih dari Sekadar Bangunan
Dalam hitungan jam, amukan massa mengubah wajah komplek perusahaan. Klinik yang selama ini menjadi pusat layanan kesehatan karyawan, ludes. Lima rumah pekerja dan pos keamanan tak luput dari amukan api. Yang tersisa hanyalah arang, puing, dan trauma mendalam.
Salah satu korban tak langsung dari peristiwa ini adalah Charles Siregar, manajer PT SSL, yang meninggal dunia dua hari setelah kerusuhan. Ia menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan menuju rumah sakit di Pekanbaru karena fasilitas kesehatan di lokasi sudah musnah dilalap api.
Bertahun-Tahun Tak Tuntas
Konflik antara warga dan perusahaan HTI ini bukan hal baru. Menurut AKBP Eka, persoalan ini telah berlangsung lama. SL, bersama dua nama lain yang juga disebut dalam penyelidikan, YC dan AP, disebut telah menerima imbauan dari perusahaan untuk mengosongkan lahan yang diklaim masuk dalam konsesi PT SSL.
“Ya betul, imbauan itu memang ada. Tapi itu prosedur biasa yang dilakukan perusahaan karena lahan mereka dikuasai pihak lain. Ini konflik lama yang terus bergulir,” jelas Eka.
Sebelum SL, empat orang lainnya lebih dulu ditangkap karena terlibat dalam penggalangan dana hingga aksi pembakaran. Kini, dengan SL sebagai tokoh sentral, pihak kepolisian menyatakan masih terus mendalami kemungkinan tersangka lain yang terlibat.
Ketegangan di Tanah Subur
Peristiwa ini memperlihatkan rapuhnya batas antara klaim adat dan konsesi legal, antara tanah yang diwarisi dan lahan yang dikelola korporasi. Ketika jalur mediasi gagal, amarah pun meledak, dan seperti dalam kasus ini, nyawa serta masa depan yang menjadi taruhannya.
“Kami tidak akan toleransi terhadap tindakan anarkis. Unjuk rasa boleh, menyampaikan pendapat boleh. Tapi membakar dan merusak itu pidana, dan akan kami tindak,” tegas AKBP Eka.
Sementara polisi terus bekerja mengurai jaringan di balik kerusuhan, masyarakat berharap satu hal: agar konflik yang membakar bukan hanya bangunan tapi juga kepercayaan, bisa diselesaikan dengan keadilan, bukan kekerasan. (RK1/*)