Oleh: Azmi bin Rozali
Istighfar adalah amalan yang menjadi inti dari ibadah seorang hamba. Seberapa pun banyaknya ibadah yang dilakukan manusia, hal itu tidak cukup untuk menjadikannya layak masuk surga.
Sebaliknya, rahmat Allah-lah yang menentukan siapa yang akan mendapatkan nikmat surga. Oleh karena itu, seorang Muslim harus senantiasa beristighfar, mengakui kelemahannya, dan memohon ampunan kepada Allah.
Dakwah Nabi Nuh: Seruan untuk Beristighfar
Nabi Nuh عليه السلام adalah salah satu nabi yang berdakwah dengan penuh kesabaran kepada kaumnya selama 950 tahun. Namun, meskipun ia telah menyeru mereka untuk beriman dan beristighfar, hanya sedikit yang mau menerima dakwahnya.
Allah mengabadikan perkataan Nabi Nuh dalam Al-Qur’an:
Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan lebat dari langit kepadamu, dan Dia akan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun serta mengadakan (pula di dalamnya) sungai-sungai.’”
(QS. Nuh: 10-12)
Ayat ini menunjukkan bahwa istighfar bukan hanya menghapus dosa, tetapi juga membawa keberkahan dalam kehidupan dunia, seperti turunnya hujan, bertambahnya rezeki, dan banyaknya keturunan.
Namun, karena keangkuhan mereka, kebanyakan dari kaumnya menolak untuk beristighfar dan akhirnya ditimpa azab berupa banjir besar.
Rahmat Allah, Bukan Ibadah, yang Memasukkan Manusia ke Surga
Sering kali manusia mengandalkan ibadahnya sebagai “tiket” masuk ke surga. Namun, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa ibadah saja tidak cukup untuk memasukkan seseorang ke dalam surga, melainkan karena rahmat Allah. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:
“Tidak ada seorang pun yang amalnya dapat memasukkannya ke dalam surga.” Para sahabat bertanya, ‘Tidak juga engkau, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak juga aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.’”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa ibadah hanyalah bentuk penghambaan kepada Allah, bukan alat untuk “membeli” surga. Jika kita menghitung ibadah yang kita lakukan, maka jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan waktu di akhirat.
Sebagai contoh:
Jika seseorang berpuasa Ramadan selama 63 tahun tanpa batal, maka jumlah puasanya adalah 1.860 hari, asumsi 1 bulan berjumlah 30 hari. Namun, di akhirat, ini hanya setara dengan 1,8 hari waktu akhirat, karena satu hari di akhirat setara dengan 1000 tahun waktu dunia.
Jika seseorang mendapatkan 30 kali malam Lailatul Qadar dalam hidupnya, yang kadarnya lebih baik dari 1.000 bulan (83 tahun), maka jumlah ibadahnya adalah 2.460 tahun waktu dunia. Namun, di akhirat, nilai ibadahnya hanya setara dengan 2,4 hari waktu akhirat.
Perhitungan ini menunjukkan bahwa sebanyak apa pun ibadah kita, tetap tidak cukup dibandingkan dengan keabadian akhirat. Oleh karena itu, kita tidak boleh sombong dengan amal ibadah, melainkan harus selalu berharap kepada rahmat Allah dengan memperbanyak istighfar.
Istighfar adalah inti dari ibadah karena menunjukkan ketergantungan seorang hamba kepada Allah. Dakwah Nabi Nuh عليه السلام menekankan pentingnya istighfar sebagai jalan menuju keberkahan. Rasulullah ﷺ juga mengajarkan bahwa manusia masuk surga bukan karena ibadahnya, melainkan karena rahmat Allah.
Maka, hendaknya kita senantiasa beristighfar, sebagaimana Rasulullah ﷺ yang meskipun sudah dijamin surga, tetap beristighfar lebih dari 70 kali dalam sehari. Semoga kita termasuk hamba-hamba yang mendapat ampunan dan rahmat Allah di dunia dan akhirat. Aamiin. *
Penulis adalah coach dan trend nasional, pernah 3 periode menjabat anggota DPRD kabupaten Bengkalis.