Lampu Colok: Pelita Warisan di Tengah Arus Perubahan

Lampu colok (g.net)

Oleh Hang Kafrawi

Malam 27 Ramadhan atau malam tujuh likur bagi orang Melayu ibarat intan di lautan, penuh harapan akan limpahan keberkahan. Di tanah Melayu yang sarat budaya ini, malam tersebut disambut dengan tradisi yang bukan sekadar menyalakan api, tetapi menyalakan ingatan dan sejarah: lampu colok. Seperti biduk tak hanyut di laut, tradisi ini tetap tegak meskipun zaman terus berubah. Ia bukan sekadar penerangan jalan, tetapi obor semangat yang menerangi peradaban Melayu.

Sejarah lampu colok adalah kisah panjang yang tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Sejak zaman dahulu, sebelum listrik menjalar ke kampung-kampung, masyarakat Melayu menyalakan pelita berbahan minyak tanah untuk menerangi jalan menuju surau dan masjid. Tradisi ini menjadi lambang syukur, semarak kegembiraan, dan persaudaraan dalam menyambut Lailatul Qadar. Dari lorong ke lorong, dari rumah ke rumah, cahaya kecil ini menyulam kebersamaan dalam gelapnya malam.

Kini, lampu colok tak sekadar nyala api di malam hari. Seiring waktu, ia berkembang menjadi ajang kreativitas yang menggugah imajinasi. Jika dulu cukup dengan pelita sederhana, kini lampu colok disusun menjadi miniatur masjid, kapal layar, dan menara-menara indah. Bagaikan layar terkembang, pantang surut ke belakang, masyarakat Melayu tetap menghidupkan tradisi ini meskipun dihantam gelombang modernitas.

Baca Juga :  Mengkaji Sastra Lisan Daerah Kampar, Mahasiswa Sastra Indonesia FIB Unilak Kunjungi Desa Teratak Kecamatan Rumbio

Dalam Islam, cahaya adalah petunjuk, dan lampu colok menjelma menjadi perlambang harapan. Sebagaimana firman Allah, “Allah adalah cahaya langit dan bumi” (An-Nur: 35), lampu colok pun menjadi metafora perjalanan mencari ridhoNya. Ia mengingatkan kita bahwa dalam kegelapan hidup, hanya ilmu dan iman yang mampu menerangi jalan. Seperti orang yang menyalakan colok di kegelapan malam, begitulah manusia yang mencari ilmu di tengah kebodohan.

Sebagai tradisi turun-temurun, lampu colok juga harus menjadi sarana untuk memperkuat nilai-nilai Islam. Islam adalah agama yang penuh kearifan, dan tradisi ini harus mampu menjadi medium bagi umat Islam untuk semakin mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Cahaya lampu colok bukan hanya sekadar penerangan fisik, tetapi juga simbol dari cahaya keimanan yang menuntun manusia menuju jalan yang benar. Dengan menjaga dan merayakan tradisi ini dalam koridor agama, kita tidak hanya mempertahankan budaya, tetapi juga mengokohkan hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.

Baca Juga :  Sudah Waktunya Melayu Bangkit, Bukan Hanya Sebagai Kenangan Sejarah

Sebagaimana bulan tak selalu purnama, lampu colok pun menghadapi tantangan zaman. Jika dulu ia bagian dari kesederhanaan, kini ia lebih banyak dijadikan sebagai festival dan ajang kompetisi. Anak-anak muda yang dahulu hanya menyalakan sumbu, kini berlomba menciptakan desain spektakuler. Tradisi ini berkembang, namun esensinya tak boleh hilang. Seperti aur dengan tebing, modernitas dan budaya harus saling menopang agar tak runtuh diterjang perubahan.

Melayu takkan hilang di dunia, demikian kata orang tua-tua. Lampu colok bukan sekadar warisan, ia adalah identitas dan kebanggaan. Di tengah derasnya arus globalisasi, ia mengajarkan kita bahwa cahaya sejati bukan hanya berasal dari listrik, tetapi juga dari warisan leluhur yang kaya makna. Seperti lilin yang rela meleleh demi memberi terang, lampu colok mengajarkan kita untuk tetap menjaga tradisi agar tak pudar ditelan zaman.

Baca Juga :  Lintas Suku dan Agama Duri Bersatu, Siap Menangkan Suwai

Di tengah zaman teknologi komunikasi yang canggih ini, tradisi lampu colok harus mampu menembus batas geografis dan menyebar ke seluruh dunia sebagai identitas Melayu yang sarat akan makna filosofi berbangsa. Dengan memanfaatkan media digital, generasi muda dapat memperkenalkan lampu colok ke panggung global, menjadikannya sebagai simbol kearifan lokal yang berdaya saing internasional. Cahaya yang menyala di tanah Melayu tak boleh meredup hanya di kampung halaman, tetapi harus bersinar ke penjuru dunia sebagai tanda bahwa warisan leluhur masih tegak berdiri.

Sebagai generasi penerus, tugas kita bukan hanya menyalakan lampu colok, tetapi juga menjaga semangat budaya dan keimanan agar tetap berkobar. Sebab, kata orang tua-tua, hilang adat, lenyaplah bangsa. Tradisi ini bukan sekadar cahaya di malam hari, tetapi penerang bagi jati diri. Selama semangat itu tetap menyala, Melayu akan tetap bersinar dalam peradaban yang terus bergerak.

Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi, dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Lancang Kuning

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *