Oleh Hang Kafrawi
Judul tulisan ini berasal dari judul buku yang ditulis oleh Subcomandante Marcos seorang pejuang masyarakat Adat, Chiapas, Meksiko. Dalam buku ini Subcomandante Marcos membeberkan perjuangan untuk menegakkan kebenaran agar pemerintah Meksiko memberikan keadilan kepada masyarakat Chiapas. Dengan kata-kata, Subcomandante Marcos membangun kekuatan, menjalin hubungan dengan setiap komunitas, baik di dalam maupun dari luar negeri, sehingga masalah Chiapas menjadi masalah masyarakat luas.
Dalam suatu tulisan mengenai Subcomandante Marcos, spirit perjuangan yang dibangun Subcomandante berdasarkan dari buku-buku sastra. Isi tas ransal yang dipakai kemanapun ia pergi, keluar masuk hutan, bukan berisi senjata perang seperti pistol, senapang atau pun geranat, melainkan isi ranselnya adalah buku-buku karya sastra. Subcomandante Marcos yakin bahwa karya sastra mampu membangun semangat dan itu harus dimiliki seorang pemimpin. Dari kata-kata dan dengan kata-kata segala komunikasi untuk membangkitkan semangat dapat dilakukan.
Begitu juga dengan penulis besar dari tanah Melayu ini abad ke-19, Raja Ali Haji. Raja Ali Haji mengatakan bahwa dengan kalam seribu pedang yang sedang terhunus tersarung kembali. Raja Ali Haji juga merangkai segala peraturan-peraturan sebagai laluan kerajaan melalui karya-karya sastra. Gurindam 12, yang berisi 12 Pasal itu, menjelaskan kepada semua pembaca akan pentingnya menyadari keberadaan manusia di muka bumi ini, sehingga ketika menjadi pemimpin di suatu daerah atau negeri dapat memperhatikan eksistensi diri terlebih dahulu.
Pasal 1 sampai pasal 4 dalam Gurindam 12, Raja Ali Haji memaparkan keberadaan diri yang berkaitan dengan Sang Pencipta. Seandainya pada Sang Pencipta saja ingkar, maka orang itu tidak perlu dipercaya. Pada pasal berikutnya, Raja Ali Haji membuhul bagaimana pergaulan seorang manusia dalam bermasyarakat dan bernegara. Gurindam 12 karya Raja Ali Haji ini, dapat dijadikan pedoman untuk memilih pimpinan yang ideal, sehingga suatu daerah atau pun negeri terlepas dari segala ancaman.
Menjadikan kata-kata sebagai senjata, juga dilakukan oleh sastrawan Riau pada masa kini. Ketidakadilan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat atas negeri Melayu ini, terus disuarakan oleh sastrawan-sastrawan Riau. Kemiskinan, kemelaratan, eksploitasi kekayaan alam Riau, menjadi tema sentral dalam karya sastra yanhg ditulis oleh sastrawan Riau. Almarhum Eduruslan Pe Amanriza, dengan tegas mengatakan bahwa “Akan Berpisah Jua Akhirnya Kita Jakarta” dalam puisinya. Puisi Alamarhum Ediruslan ini menjadi puncak kekesalan penulis melihat Riau terus ‘ditelantarkan’, sementara kekayaan alamnya terus dikuras. Berikut puisi “Akan Berpisah Jua Kita Jakarta” yang ditulis Ediruslan Pe Amanriza:
Akan Berpisah Jua Kita Akhirnya Jakarta
akan berpisah jua kita akhirnya, Jakarta
dari negeri kami yang jauh
kau terlihat semakin angkuh
tak tersentuh
setelah 55 tahun bersama
nyatanya
tak sehari pun kami merasa bahagia
hidup kami sepanjang tahun
asyik dirundung duka nestapa
akan berpisah jua kita akhirnya, Jakarta
karena sejak hari ini
kami tak lagi percaya
pada janji-janji yang penuh dusta
akan berpisah jua kita akhirnya, Jakarta
bila kau tak bertimbang rasa
atas ribuan jenis kayu
yang ranap kau tebang
dari hutan belantara kami yang rindang
dan meninggalkan lingkungan yang lintang pukang
akan berpisah jua kita akhirnya, Jakarta
sebab puluhan juta hektare
tanah peladangan
kebun karet
rimba kepungan sialang
tanah ulayat
dan pandam pekuburan
yang kau petakan
dari Bina Graha
akan dirampas kembali oleh
suku Sakai kami yang tak kuat menyimpan dendam
akan berpisah jua kita akhirnya, Jakarta
tatkala semangat Hang Jebat
di jiwa kami
kembali membara
Karya sastra adalah cermin dari kehandak masyarakat dimana karya sastra itu dihasilkan. Karya sastra tidak lahir dari keinganan yang kosong, karya sastra hadir sebagai perwujudan dari peristiwa-peristiwa luka yang harus senantiasa diperjuangkan. Kata-kata tetap akan menjadi senjata ketika keinginan masayarakat menjadi yang terdepan, dan karya sastra dihasilkan memang untuk memperjuangan kehidupan masyarakat.
Hang Kafrawi adalah nama pena Muhammad Kafrawi dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Unilak