Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Atah Roy bergegas melangkahkan kakinya menuju ke rumah Samad Sulah. Tidak dipedulikan orang yang menyapanya ketika berpas-pasan di jalan. Di benak Atah Roy hanya ada satu tujuan, yaitu cepat sampai ke rumah Samad. Tentu saja sikap Atah Roy ini memunculkan berbagai pertanyaan bagi orang-orang yang menyapanya di jalan itu. Di tambah lagi wajah Atah Roy seperti udang direbus; memerah. Untuk memastikan kejadian apa yang akan berlangsung, orang-orang yang menyapa Atah Roy mengikuti tujuan langkah orang tua kenyang makan asam garam kehidupan di kampung mereka itu.
“Kalau Atah Roy dah tak peduli dengan orang, pasti ade kejadian beso akan terjadi ni,” ucap Jamal Kenkang belawan cakap dengan orang lain yang juga mengikuti Atah Roy di belakang.
“Betul cakap dikau tu, Mal, dah lame Atah Roy tak meradang macam gini dah,” balas Tapa Kedel pula memperkuat anggapan Jamal Kengkang.
“Rase-rase aku ye, tak ade peristiwa baru-baru ini yang mengganggu kedaulatan kampung kite de. Biasenya Atah Roy mengamuk kalau ade kejadian mengusik ketentraman kampung, baru Atah Roy meradang,” ucap Tamam Cengkung dengan suara yang agak besar.
Mendengar suara Tamam Cengkung, Atah Roy memberhentikan langkahnya. Orang-orang yang mengikutinya pun menahan langkah mereka. Atah Roy membalikkan badannya menghadap ke orang-orang tersebut. Mata Atah Roy tajam memandang satu per satu wajah orang-orang. Ada 25 orang yang mengikuti Atah Roy. Orang-orang serba salah dan untuk meghilangkan kikuk mereka, orang-orang berpura-pura berbual sesama mereka. Suara macam langau terbang pun terlahir dari mulut orang-orang yang berpura-pura bebual itu.
Atah Roy menarik nafas panjang. Ia tak ingin memuntahkan kemarahannya kepada orang-orang yang mengikutinya. “Kalau aku lepaskan marah aku kepade orang-orang ni, habis pulak bahan aku hendak marah Samad dan budak-budak yang sedang berkumpul di rumahnya,” ucap Atah Roy dalam hati.
Atah Roy menarik nafas panjang lagi. Matanya masih tajam mengarah pandang ke orang-orang. Setelah dapat menenangkan diri, Atah Roy berbalik arah dan kembali melangkahkan kakinya menuju rumah Samad Sulah. 25 orang yang mengikuti Atah Roy merasa lega karena Atah Roy tak memuntahkan kemarahannya kepada mereka. Tidak mau kehilangan kejadian berikutnya yang akan dilakukan Atah Roy, orang-orang kembali mengikuti langkah Atah Roy.
Orang-orang penasaran kemana arah langkah Atah Roy, namun rasa penasaran itu tidak berlangsung lama. Atah Roy membelok arah menuju ke rumah Samad Sulah. Di belakang Atah Roy, orang-orang saling berpandangan dan menganggukkan kepala.
Atah Roy terus melangkahkan kakinya dan baru berhenti di pintu depan teras rumah Samad Sulah. Atah Roy menyapu pandang ke arah budak-budak yang ada di teras. Tak kurang 15 orang pemuda yang berada di teras itu. Leman Lengkung, anak saudara Atah Roy pun ada. Setelah menyapu pandang ke budak-budak itu, mata Atah Roy berhenti ke sosok orang sebaya dengannya. Samad Sulah.
“Aku tak menyalah budak-budak ini de, Mad, tapi aku menyalahkan dikau seratus persen!” suara Atah Roy meninggi.
“Maksud dikau ape, Roy? Usah panas baran dikau diperturut, tak elok jadinye kang,” kata Samad dengan suara datar.
“Aku tak peduli ape yang hendak dikau lakukan dengan budak-budak ni, Mad. Dikau hendak mencalonkan jadi Penghulu, nak jadi anggota DPRD, nak jadi bupati maupun gubernur, lantaklah! Yang aku tak senang, dikau meracuni pikiran budak-budak ni tak perlu mengetahui sejarah! Dikau anggap sejarah hanye membodohi dan penghalang untuk maju! Itu yang aku tak suai, Mad!” kata Atah Roy berapi-api.
Orang-orang yang mengikuti dan sekarang berada di belakang Atah Roy saling menganggukkan kepala. Mereka baru paham, bahwa kemarahan Atah Roy disebabkan Samad Sulah menunggangi dan meracuni pemuda kampung untuk mencalonkan diri menjadi penghulu.
“Untuk ape mengetahui sejarah, Roy? Yang kite perlu sekarang ini kekuasaan. Dengan kekuasaan kite dapat buat sejarah kite. Sejarah yang ditulis tujuannya untuk membodohi pemuda-pemudi macam budak-budak ni,” ucap Samad Sulah sambil menunjuk budak-budak yang ada di terasnya. “Ditambah lagi keadaan sekarang ini, Roy, pemuda lebih suke mempelajari teknologi yang cepat menghasilkan duit, dan itu tak bisa kite bantah, Roy,” tambah Samad Sulah.
“Otak macam dikau inilah yang menciptakan genarasi tak punye sikap untuk membela kampungnye sendiri! Otak macam dikau ini jugelah yang melahirkan generasi jalu, generasi yang tak sado diri, generasi yang hanye mementingkan diri sendiri! Dikau harus tahu ye, Samad yang terhormat, hidup ini bukan hanye persoalan duit, tapi juge menyangkut kesejatian sebagai manusie. Kalau hidup hanye memikirkan duit, make setiap saat akan terjadi kejahatan. Menyetan dengan duit tak akan ade rase persaudaraan, yang ade hanye kerakusan. Dikau tahukan Samad, kalau sudah rakus? Jangankan kampung, jangankan saudare, diri sendiri juge akan tergadai! Cam kan itu, Samad!” ucap Atah Roy dengan suara gemetar menahan marah.
Atah Roy memandang budak-budak yang dikumpulkan oleh Samad Sulah di teras rumahnya. Atah Roy tersenyum getir. “Mike punye pikiran untuk menentukan pilihan. Memang mengetahui sejarah tak langsung mike jadi kaye harte bende, tapi mike punye kekayaan hati. Sejerah mengajo kite bersikap, sebagaimane orang-orang terdahulu mendirikan kampung ini. Dulu di kampung ini kite tidak terpecah belah. Semue suku same, same-same hendakkan kampung ini maju, tapi sekarang kite dipecah belah oleh keinginan orang yang hendak berkuase, orang yang hendak meraup keuntungan harte bende dengan memanfaatkan kebutaan kita akan sejarah kampung kite ini. Aku tak ingin mike semue terpecah belah disebabkan harte bende. Sesaat harte bende memang kite rasekan bisa menenteram kite, namun akhirnye kite akan hancur disebabkan harte bende. Contohnye sudah ade di depan kite hari ini. Leman Lengkung, kontan anak adik aku, lebih memilih Samad yang menjanjikan duit dibandingkan aku sebagai bapak sudarenye yang hanye berharap die menjadi orang yang menghargai pengorbanan orang lain untuk dirinye. Mike punye pikiran, pilihlah yang terbaik,” ucap Atah Roy dengan air mata mengalir deras di pipinya.
Pemuda-pemudan dan orang-orang yang berada di rumah Samad saling berpandangan. Mereka tidak dapat berkata apa-apa. Atah Roy membalikkan badannya. Dengan langkah pelan-pelan menahan kesedihan, Atah Roy meninggalkan rumah Samad Sulah. Orang-orang saling berpandangan, tak dapat nak menentukan sikap; berpihak ke Atah Royn atau berpihak ke Samad Sulah.
Hang Kafrawi adalah nama pena M. Kafrawi dosen Program Studi Sastra Indonesia, FIB Unilak