Oleh Hang Kafrawi
Kita duduk di hadapan pikiran kita sendiri. Ia menatap kita seperti cermin yang retak, merefleksikan serpihan yang bukan lagi kita, tetapi tetap bagian dari kita. Pikiran ini terlalu penuh, sesak oleh makna, berdesakan dengan tafsir-tafsir yang saling menikam. Maka, satu-satunya jalan adalah membantainya. Membiarkannya berdarah-darah, mengucurkan kata-kata yang entah terbentuk sebagai doa atau kutukan. Kita harus menghabisinya sebelum ia menghabisi kita.
Membantai pikiran dengan pikiran sendiri adalah laku absurd. Kita menjadi algojo dan korban sekaligus. Setiap gagasan yang kita jatuhkan, ia bangkit kembali dalam bentuk lain; lebih liar, lebih kacau, lebih puitis. Saat kita menebasnya dengan logika, ia menjelma metafora. Saat kita mengurungnya dalam definisi, ia melarikan diri sebagai rima tanpa aturan. Begitulah, pikiranku terus berlipat ganda seperti cermin yang tak henti memantulkan dirinya sendiri.
Kita ingin berpikir, tetapi berpikir membuat kita berpikir tentang berpikir. Kita terseret dalam pusaran tanpa dasar. Di titik ini, absurditas menjadi sahabat. Logika yang lurus hanyalah ilusi bagi mereka yang takut tersesat. Lebih baiknya, kita memilih untuk tersesat dengan sengaja, berjalan di antara puing-puing gagasan yang telah kita bantai. Dari kehancuran itu, kita membangun puisi.
Hidup ini sendiri adalah perayaan ketidakpastian. Tidak ada yang pasti, tidak ada yang mutlak. Pikiran hanya menuntun kita ke jurang yang semakin serba tidak jelas. Apa yang kita rencanakan dalam hidup ini bukanlah kepastian, melainkan jalan yang melahirkan ketidakpastian-ketidakpastian baru yang harus kita pikirkan kembali. Kita berjalan di atas jembatan yang tidak pernah selesai dibangun, di mana setiap langkah membuka celah baru yang menganga di depan. Justru dalam ketidakpastian itu, absurditas menemukan maknanya.
Pikiran melahirkan keraguan, dan keraguan melahirkan pula pikiran, seperti rantai yang saling berkait berkelindan, menumpuk-numpuk kepastian yang juga belum pasti. Dalam ketidaktahuan, kita terus menggali, membongkar, dan menumpuk kembali lapisan-lapisan ketidakpastian. Pikiran yang kita kira menemukan jawabannya ternyata hanya melahirkan pertanyaan baru, menjebak kita dalam lingkaran yang tak berujung.
Puisi adalah jalan revolusi. Puisi mematahkan pikiran dan membangun pikiran baru. Puisi tidak tetap sebagai puisi yang bertugas menyediakan makna; ia bukan bangunan kokoh yang tegak dalam kepastian. Puisi seperti awan yang ditiup angin, selalu berubah-ubah bentuk pikirannya. Ia mengalir, menyesuaikan diri, menolak didefinisikan dalam satu tafsir tunggal. Puisi bukanlah jawaban, melainkan medan pertempuran pikiran yang terus bergerak, menghancurkan yang lama untuk melahirkan yang baru.
Ketidakpastian pikiran dalam puisi inilah yang menyebabkan puisi bertahan dalam segala zaman. Ia terus menyesuaikan diri, menghadirkan nuansa-nuansa baru yang menuntut dobrakan pikiran. Puisi tidak hanya merekam perasaan, tetapi juga menggugat, memprovokasi, dan menggerakkan. Justru dalam ketidakpastian inilah puisi menemukan kekuatannya, menjadi pijakan bagi lahirnya pemikiran-pemikiran baru yang terus bertumbuh, menjalar, dan mengguncang tatanan yang mapan. Karena melahirkan berbagai pikiran-pikiran baru dan memerlukan pikiran baru pula yang lahir dari puisi, banyak yang meninggalkan puisi, karena mereka tidak mampu bertahan dalam alternatif-alternatif pikiran yang ditawarkan oleh puisi.
Puisi lahir dari peperangan di kepala. Ia adalah kesaksian atas kehancuran dan kebangkitan pikiran. Ia tidak mencari kebenaran, sebab kebenaran adalah musuh absurditas. Ia tidak menuntut makna, sebab makna hanya ilusi yang dibisikkan oleh dunia yang ingin merasa aman. Puisi justru hidup di antara retakan, dalam absurditas yang menolak kejelasan. Ia adalah luka yang indah, paradoks yang diterima, kejanggalan yang dipeluk dengan hangat.
Seperti keadaan negara ini yang semakin absurd, seakan tidak menemukan kepastiannya. Maka, biarkan pikiran kita terus saling membantai. Biarkan ia terus melahirkan kontradiksi, menggali jurang ketidakpastian, dan menari di atas absurditas. Sebab dari kehancuran itulah puisi menemukan jalannya; bukan sebagai jawaban, tetapi sebagai pertanyaan yang abadi.
Di kaki langit kularung akal
berkecai ia ditiup angin.
Seperti daun berguguran,
kembali ia dalam bayang yang lain.
Duhai fikir
engkau pun luntur
ditelan musim.
Jika hidup sekadar mengatur
biarlah puisi jadi tangkalnya.
Hang Kafrawi nama pena Muhammad Kafrawi, dosen Program Studi Sastra Indonesia, FIB UNILAK