Menyulam Budaya Lewat Kata

Siti Meyla Bakti

Oleh Siti Meyla Bakti

Assalamualaikum warahmatullahhi wabarakatuh. Shalom om swastiastu, namo budhaya salam kebajikan, salam sejahtera bagi kita semua.

Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia, hidup perempuan Indonesia.

Yang saya hormati para dosen yang hadir pada hari ini, serta kawan- kawan mahasiswa yang saya banggakan.

Hari ini, saya berdiri di disni bukan sebagai pemilik kebenaran, melainkan sebagai jiwa yang menggenggam “Tanya”. “Tanya” tentang kata yang kian kehilangan makna, “Tanya” tentang budaya yang kian menjauh dari laku, dan tentang arah peradaban yang samar dalam kabut zaman.

Saya dan anda lahir dan dibesarkan di Indonesia dengan banyak keberagaman budaya di dalamnya. Dari sabang sampai marauke, kita punya ribuan bahasa, ratusan adat, dan jutaan cerita. Namun, marilah sejenak kita merenung dalam-dalam dan tanyakan pada diri kita sendiri, “Apakah kita masih benar-benar hidup dalam pelukan budaya itu?” atau “sekadar menjadi penonton yang perlahan terasing, kehilangan jejek dalam keterhubungan?”

Baca Juga :  Membantai Pikiran dengan Pikiran Baru: Ritual Absurd Menuju Puisi

Kita hidup di zaman yang seakan berlari dengan cepat, teknologi datang bagaikan angin, mempercepat segalanya, dari komunikasi, informasi serta emosi yang seharusnya mengalir perlahan. Kita mengetik lebih cepat dari pada berfikir, kita berbicara lebih banyak dari pada merenung. Kata-kata ada dimana saja, tapi masihkah ada makna di dalamnya?

“Menyulam Budaya Lewat Kata” adalah menanamkan kembali nilai-nilai leluhur lewat bahasa, lewat tutur, lewat dialog dan lewat tulisan yang meninggalkan jejak abadinya. Bukan sekadar kata-kata yang manis di telinga atau indah di mata, Tetapi kata-kata yang membawa pesan mendalam, menanamkan nilai, dan mewariskan warisan yang tak ternilai.

Di masa silam, kata-kata membentuk jati diri bangsa. Lihat bagaimana orang dahulu mendidik generasi mudanya bukan dengan teriakan menusuk, dengan peribahasa, dengan pantun. Dari situ mereka mereka menanam etika, rasa hormat, kesederhanaan, dan keberanian lewat cerita. Mereka menyulam budaya lewat kata, dan yang dijadikan benangnya adalah nilai dari kehidupan itu sendiri. Namun kini, kata-kata seringkali kehilangan hakikatnya sebagai pengikat hati. Medsos kita dipenuhi oleh sindiran-sindiran yang tidak mendidik, bahkan di ruang-ruang akademik, kita mulai kehilangan kesabaran untuk mendengar.

Baca Juga :  Membaca Ulang Danau Toba; Antara Letusan, Legenda, dan Lambang Kehidupan

Kita butuh revolusi dalam cara kita berbicara. Kita butuh mengembalikan fungsi kata sebagai jembatan, bukan tembok. Sebagai pelita, bukan bara. Kita perlu berbicara tidak hanya untuk didengar, tapi  untuk menyampaikan nilai dan nilai itu tidak bisa hidup tanpa budaya.

Kita, mahasiswa, adalah penjaga peradaban. Tugas kita bukan hanya mengejar IPK, Tapi juga memastikan bahwa budaya tidak menjadi fosil, Melainkan tetap hidup dalam diskusi kita, dalam orasi kita, dalam tulisan kita, dalam cara kita memperlakukan sesama.

Mari kita mulai dari hal sederhana:

Menulis dengan hati.

Baca Juga :  Memberontak untuk Menjadi Diri Sendiri

Berbicara dengan hormat.

Mendengarkan dengan sabar.

Dan merespon dengan pemahaman.

Bagi kita generasi muda, “menyulam budaya lewat kata” bukan tugas satu hari, tapi tugas seumur hidup. Tugas generasi yang sadar bahwa bangsa ini tidak hanya butuh infrastruktur fisik, tapi juga fondasi kebudayaan yang kuat.

Kawan-kawan mahasiswa! Mari kita jadikan kata-kata sebagai benang yang menyambung kembali makna-makna yang mulai tercerai. Mari kita jadikan suara kita sebagai suara yang mencipta, bukan yang merusak. Mari kita buktikan bahwa meski zaman berubah, kita tidak akan kehilangan akar budaya kita.

Terimakasih.

Salam  budaya, hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia, hidup perempuan Indonesia.

Tulisan ini dibacakan oleh Siti Meyla Bakti , mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia FIB UNILAK, pada perhelatan “Melepak Budaya dan Ngopi Sastra” yang ditaja mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia dan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Melayu, FIB UNILAK.

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *