Menu

Mode Gelap
BMKG: Hujan Ringan hingga Sedang Berpotensi Guyur Kepri, Selasa 8 Juli 2025 PT Timah Tenggelamkan 36 Unit Atraktor Cumi di Perairan Buku Limau Belitung Timur PT Timah Serahkan Bantuan Bibit untuk Rumah Kompos KSM Resam Wanita Ini Ketahuan Selundupkan Narkoba Dalam Roti Kering di Lapas Pekanbaru Panitia Pacu Jalur Nasional Tepian Narosa Mulai Intensif Lakukan Persiapan Saiman: Tugas Berat Menanti Sekdapro Riau Definitif

Seni dan Budaya

Rumah dan Rasa

badge-check

Karya Nanda Rahmayu

Barangkali di ujung pandangan itu masih ada harapan untuk kisah kita yang telah terbuang lama, menjadi sia-sia, membusuk, tidak ada lagi sisa-sisa di antara makna kasih yang dulu saling memberi. Sudah begitu lama tertimbun di dalam isi kepalaku, tidak sedikit pun kisah kita bisa aku buang seperti kenyataannya. Hari ini aku memberanikan diri untuk kembali lagi melihat yang masih hidup di dalam kepalaku.

“Mira?!” Seseorang berseru tepat di depanku, binar matanya penuh cahaya.

Tidak ada yang pernah menyangka, kau seperti hidup di dalam sinarnya. Aku bertanya pada diriku tentang siapa yang sedang menatapku sekarang.

“Mira, kamu apa kabar?”

Suaranya membuatku tenang dan hanyut dalam banyak kepalan rindu yang menumpuk selama ini. Aku masih diam belum bisa menjawab pertanyaan itu.

“MIRA ..!” Kali ini dia tersenyum lebih lebar lagi di depan binar mataku.

Tanpa aku sadari bahwa semua yang aku rindukan sekarang ada di depanku. Aroma pohon beringin yang rimbun di tepi danau yang konon di dalam danau tersebut terdapat sebuah kerajaan. Sore ini mengingatkanku banyak hal yang telah lama mati di dalam kepalaku. Hawa yang selama ini hilang dari diriku, sekarang bisa aku rasakan lagi dengan perasaan yang lebih tenang. Duduk di bangku besi berwarna kuning sambil menatap air di danau yang bergelombang pelan dibawa angin adalah sebuah keberanian yang telah aku kumpulkan empat tahun lamanya.

Aku terperanjat menyadari seorang pria itu masih menatapku dengan matanya yang teduh. Aku menyilakan dia untuk duduk di sampingku, barangkali ada yang ingin dia katakan.

“Aku baik-baik aja, Tir.” Hanya itu yang mampu aku jawab.

“Kamu selalu bilang begitu,” ucapnya begitu saja. Dia meragukan jawabanku.

“Memangnya aku mau jawab apa lagi? Kenyataan yang bisa kamu lihat kalau aku baik-baik aja ‘kan?”

“Ya, masuk akal. Kamu baik-baik aja karena kamu bisa sampai ada di sini.” Tirta menaikkan sebelah alisnya.

Senyum pria itu masih sama, meski tahun berganti, tetapi dia masih Tirta yang aku kenal dulu. Dia tidak pernah berubah bahkan ketika aku mengubah banyak sikapku kepada dunia. Sebenarnya ada banyak yang ingin aku tanyakan padanya sore ini, salah satunya adalah bagaimana dia bisa tetap menjadi dirinya sendiri.

“Kamu gak terbuang, Mir. Berhenti berpikir kayak gitu lagi. Aku udah lama nunggu kamu datang ke sini lagi dan akhirnya hari ini tiba juga, ya,” ujarnya dengan helaan nafas panjang di akhir kalimat yang dia ucapkan.

Aku hanya bergumam sendiri, mengapa dia harus menungguku sampai bertahun-tahun? Aku bukan manusia yang pantas di tunggu selama itu.

“Kalau kamu masih bisa ingat kenapa empat tahun lalu itu menjadi hal yang mengerikan untukku? Apa kamu tau?” tanyaku tanpa memandang wajahnya.

Tirta tertawa pelan, tidak ada jawaban dari bibirnya. Pandangannya luas ke depan memandangi kilauan air yang terkena sinar matahari sore. Dari binar matanya aku semakin yakin bahwa tempat ini masih sama, Tirta juga masih sama. Hanya aku yang berubah menjadi manusia murung dan mengasingkan diri dari dunia.

Empat tahun yang lalu adalah hal berat untukku. Aku dan Tirta menjadi sepasang saat itu, kami tidak sengaja bertemu di tempat ini. Jika aku ingat kembali, mungkin aku tidak ingin itu terjadi. Sejak hari itu Tirta menjadi dunia diantara dunia yang fana ini. Dia memiliki mata berwarna coklat pekat sama seperti bola mataku. Kami sering menghabiskan banyak waktu di sini, berbagi kisah, sedih dan bahagia.

“Abah apa kabar, Mir? Aku udah lama gak ketemu sama Abah. Apa dia masih suka marah-marah kayak yang kamu bilang dulu?”

“Sekarang Abah udah gak pernah marah-marah lagi karena dia udah pulang,” jawabku datar.

“Semua yang hidup memang akan pulang, Mir. Kamu jangan pernah berhenti belajar menerima apa yang udah terjadi sama dirimu.”

Sore ini terik dan menyengat sampai ke dalam dadaku. Hanya senyuman pahit yang bisa aku berikan pada Tirta ketika dia mengingatkanku cara menerima. Tidak semua hal yang terjadi dalam diriku bisa dengan begitu mudahnya untuk aku terima begitu saja. Katakanlah bertahun-tahun aku menghardik waktu dan diriku sendiri tak lain dan tak bukan agar aku sadar dan mau menerima semua yang telah terjadi pada hidupku kali ini. Namun, manusia sepertiku sering kali menangisi kesedihan yang tidak bisa diulang lagi, tapi sakitnya berulang-ulang ketika aku mengingatnya.

Seketika aku terperanjat oleh Kilauan cahaya di seberang danau yang semakin sepi, aku memejamkan mata sebentar karena Kilauan itu membuatku tidak mampu melihatnya. Setelah itu kulihat lagi Tirta, dia sudah tidak ada bersamaku.

Relung hatiku bertanya sendiri mengapa Tirta begitu saja meninggalkanku lagi? Mengapa kenyataan begitu sulit aku terima? Tentu saja tidak ada yang menjawab. Aku pun enggan mencari tahu pria itu pergi ke mana. Sebelum matahari terbenam aku kemudian meninggalkan tempat duduk yang dulu menjadi hal manis ada di situ.

Rumah ini sudah lama, telah usang di makan waktu, tetapi kenangannya masih hidup bahkan ketika hatiku mati, rumah ini masih bisa membuatku menangis. Rumah ini adalah kesedihan.  Aku melihat lagi kamar Abah dan Ibu yang sudah lama kosong. Setelah kepergian Abah dan Ibu, aku memutuskan untuk merawat diriku sendiri di rumah ini, merawat kenangan kami, di dalam rumah kesedihan. Setelah hari itu juga tidak ada lagi yang datang melihat keadaanku, dunia melupakanku dan oleh sebab itu aku membenci semuanya, oleh sebab itu semua yang aku sayang telah pergi.

Aku menyapu debu yang bertumpuk tebal di meja rias milik Ibu. Ibu adalah perempuan paling cantik saat dia masih ada di dunia, oleh sebab itu sekarang aku katakan bahwa tidak ada yang cantik di dunia ini. Perempuan kesayanganku menyukai wangi mawar. Sekarang pun masih terasa semerbak wanginya. Aku menyadari banyak hal yang hilang dan sengaja aku hilangkan dari duniaku. Ibu yang tabah, lembut dan penuh kesabaran bertemu Abah yang pemarah, tetapi bijaksana. Rasanya dunia ini seimbang saat mereka masih ada bersamaku.

Sepasang itu terlihat sedang tersenyum. Ibu memegang mawar merah di hari pernikahan mereka, sebuah foto yang membuat mereka abadi, sebuah foto yang membuat mereka tetap bahagia. Aku tidak sanggup menahan tangisku mengingat semuanya masih begitu menyakitkan.

Masih begitu kuat ingatan tentang bagaimana Abah dan Ibu meninggal bersamaan karena kecelakaan empat tahun lalu. Aku menyaksikannya, aku melihatnya, aku ada bersama mereka di dalam mobil. Dadaku berdegup kencang mengingat lagi kejadian yang begitu mengguncang jiwaku. Lantas siapa yang ingin ditinggalkan dua orang yang dicintai secara bersamaan? Waktu itu mobil kami menuju ke makam Tirta, kami ingin berziarah di 40 hari kematiannya.

Nanda Rahmayu adalah mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, FIB Unilak

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kekuatan Syair Membuat Gubri Wahid Menangis

5 Juli 2025 - 18:02 WIB

Gelar Datuk Setia Amanah Tidak Melekat, Hanya Semasa Menjabat

5 Juli 2025 - 08:45 WIB

Penabalan Datuk Seri Setia Amanah Kepada Gubri Wahid Tinggal Pelaksanaan

4 Juli 2025 - 16:40 WIB

Ini Nilai Sakral dan Wewenang Datuk Seri Setia Amanah Kepada Masyarakat Adat

4 Juli 2025 - 10:21 WIB

LAMR Meranti Laksanakan Langkah Awal Menapak Jejak Kearifan Lokal Melayu

3 Juli 2025 - 21:59 WIB

Trending di Meranti