Oleh: Wahyudi Hari Bahagia
Di sebuah desa bernama Dosan, tersembunyi sebuah danau yang tidak hanya menawarkan keheningan air dan aroma hutan tua, tetapi juga menggema dengan cerita masa lalu yang nyaris menjadi bisikan angin Danau Naga Sakti. Di sinilah mitos, rasa takut, dan cinta seorang ibu bertemu dalam satu ruang sunyi yang menyimpan memori kolektif orang kampung. Cerita ini bukan sekadar dongeng pengantar tidur, tetapi sebuah tanda yang hidup, terus berdenyut dalam ingatan dan kebudayaan masyarakat.
Konon, dari rahim seorang perempuan, lahirlah sepasang anak kembar. Namun, satu dari mereka bukan manusia seperti saudaranya melainkan sesosok ular naga yang kelak diberi nama Si Jalar. Bayangkan, bagaimana perasaan seorang ibu yang harus menerima anaknya dalam wujud yang ganjil? Ia tak lari dari kenyataan, malah memeluknya dalam kasih. Tapi kampung, seperti biasa, takut pada yang tak mereka pahami. Masyarakat merencanakan untuk membinasakan si Jalar. Ia pun pergi, menghilang ke danau yang kemudian dikenal sebagai Danau Naga Sakti.
Cerita ini tak bisa hanya dibaca secara harfiah. Ia adalah tanda, sebagaimana kata Charles Sanders Peirce filsuf semiotika dari Amerika. Danau, naga, ibu, kampung semuanya bukan sekadar objek, tetapi representamen, ikon, indeks, simbol. Naga bukan hanya makhluk mistis; ia bisa jadi cermin dari kekuatan alam yang ditekan, ketakutan manusia akan yang tak bisa dikendalikan, atau bahkan sisi liar dalam diri kita sendiri yang ingin kita usir karena tidak sesuai norma.
Peirce menyebutkan tiga unsur penting dalam membaca tanda: representamen (penanda), objek (yang dirujuk), dan interpretant (pemaknaan dalam benak penerima). Dalam konteks ini, Danau Naga Sakti bukan hanya danau—ia adalah ruang pemaknaan. Si Jalar bukan hanya anak ular; ia adalah metafora bagi apa pun yang dianggap “aneh”, “berbeda”, atau “berbahaya” oleh masyarakat. Penolakan atas dirinya adalah penolakan terhadap apa pun yang keluar dari pola.
Namun, kisah ini juga berbicara tentang logika manusia dalam memahami alam. Bahwa mimpi ibu yang melihat ular sebelum melahirkan bukan hanya bunga tidur, melainkan jembatan antara dunia sadar dan bawah sadar, antara realitas dan mitos. Cerita ini membongkar keyakinan kita bahwa yang terlihat “tidak masuk akal” justru menyimpan kebenaran yang dalam. Di sinilah kekuatan cerita rakyat bekerja ia membawa kearifan lokal dalam bentuk narasi yang tak memerlukan dalil ilmiah, cukup keyakinan dan kesediaan untuk mendengarkan.
Anehnya, danau itu hari ini seolah dilupakan. Ia dibiarkan terlantar. Padahal, ia menyimpan bukan hanya kisah, tapi juga potensi ekowisata dan ruang spiritual masyarakat. Jalan menuju danau itu hanya berjarak sekitar 345 meter dari jalan raya, namun seakan jauh dari perhatian mereka yang berkuasa. Masyarakat sekitar berharap, barangkali suatu hari suara naga itu terdengar lagi, bukan dalam bentuk kemarahan, tapi dalam bentuk kesadaran baru: bahwa alam, mitos, dan manusia harus kembali berbicara dalam bahasa yang sama.
Maka, Danau Naga Sakti bukan hanya warisan, ia adalah peringatan. Ia adalah simbol tentang bagaimana kita memperlakukan yang lemah, yang berbeda, dan yang tak masuk logika kita. Ia juga adalah refleksi tentang bagaimana kita, manusia modern, seringkali membuang tanda-tanda alam hanya karena kita terlalu sibuk mengejar kenyataan yang tampak “masuk akal”.
Dalam cerita si Jalar, kita diajak untuk memahami bahwa kekuatan sejati tidak selalu lahir dari bentuk fisik yang sempurna, tapi dari keberanian untuk bertahan, dari cinta yang tak membeda-bedakan, dan dari keberanian seekor naga untuk tidak melawan, tapi memilih diam di kedalaman air—menjaga rahasia kampungnya dengan tenang.
Wahyudi Hari Bahagia adalah mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, FIB UNILAK